SHOPPING CART

close

Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Praktik Beragama

Berbeda pendapat itu bukan masalah. Yang jadi masalah adalah sikap mau menang sendiri. Tidak mampu menghormati apalagi memahami pendapat orang lain.

Mengapa mesti ada beda pendapat

Orang berbeda pendapat itu disebabkan berbagai alasan atau sebab. Bisa karena latar belakang pendidikan, lingkungan, ataupun kecenderungan pribadi. Istilahnya gawan bayi atau sifat bawaan sejak lahir.

Dua anak yang kembar identik saja bisa berbeda pendapat. Padahal ibu dan bapaknya sama. Keluarganya sama. Mungkin juga sekolahnya sama. Namun dalam kehidupan sehari-hari pastilah mereka sering berbeda pendapat. Dan berbeda pendapat itu, sekali lagi tidak masalah. Mereka tetap bisa hidup rukun. Asal mereka mampu untuk bersikap saling memahami dan menghargai.

Beda pendapat adalah motivasi untuk terus belajar

Dalam kehidupan bermasyarakat kita juga biasa menghadapi perbedaan pendapat. Oleh karena itulah ada konsep musyawarah. Tujuannya adalah saling bertukar pikiran. Mencoba melihat semuanya dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga dari situlah wawasan bertambah, dan kedewasaan bertumbuh.

Dalam konteks inilah ada Majlis Tarjih di Persyarikatan Muhammadiyah, dan ada Bahtsul Masail di Nahdhatul Ulama. Jadi keduanya merupakan lembaga musyawarah, bukan lembaga indoktrinasi bagi para warga dan anggotanya.

Baca juga:  Tujuan Belajar Perbandingan Mazhab dan Perbedaan Pendapat

Contoh beda pendapat dalam masalah agama

Misalnya dalam hal shalat. Sebuah kewajiban yang kita tunaikan sehari semalam sebanyak lima kali. Sepanjang hidup kita.

Bila kita belajar ilmu tata cara shalat, ternyata mulai dari niat saja sudah ada perbedaan pendapat. Apakah niat perlu dilafalkan? Bila perlu dilafalkan, apakah harus lengkap atau yang penting sudah hadir kesadaran? Meskipun Rasulullah sendiri tidak pernah melafalkan niat shalat.

Lalu tata cara takbiratul ihram. Setinggi apa tangan diangkat. Dan bagaimana memposisikan kedua tangan setelah itu. Ada banyak pendapat. Kita akan tahu perbedaannya sangat banyak, terutama kalau kita pas melaksanakan ibadah haji atau umrah. Nanti di sana kita akan menyaksikannya secara langsung.

Kemudian bacaan al-Fatihah. Setidaknya ada tiga pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama, melafalkan basmalah seperti melafalkan hamdalah. Jadi kalau hamdalahnya dibaca jahar dalam shalat Maghrib, maka basmalah juga dibaca jahar. Kalau hamdalah dibaca sirri dalam shalat Ashar, maka basmalah juga dibaca sirri.

Pendapat kedua, tidak melafalkan basmalah sama sekali.

Pendapat ketiga, melafalkan basmalah dengan sirri. Baik untuk shalat jahar maupun sirri.

Ketiga pendapat itu sama-sama punya dalil. Para ulamanya juga sama-sama hafal al-Qur’an, juga hafal ratusan ribu hadits di luar kepala, baik matan maupun sanadnya. Lengkap dengan ilmu tafsir, musthalah hadits. Juga jagoan di bidang Bahasa Arab. Bukan sekedar bisa baca dan bicara bahasa Arab. Tapi mumpuni ilmu-ilmu bahasa Arab. Ditambah dengan aqidah yang benar dan akhlak yang mulia.

Beda pendapat ada di semua praktik ibadah bahkan wilayah keimanan

Demikian terus ada perbedaan pendapat dalam tiap rukun shalat sampai bacaan salam. Itu baru rukun shalat. Belum waktu-waktu shalat. Lalu pembahasan shalat-shalat sunnah. Di situ juga ada perbedaan pendapat.

Itu baru pembahasan shalat. Belum zakat, puasa, haji.

Itu juga baru ibadah. Belum lagi masalah perkawinan, waris, jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, hutang-piutang, dan seterusnya sampai bahasan jihad.

Itu juga baru masalah amalan yang bersifat lahiriyah. Belum lagi masalah aqidah atau keyakinan.

Haruskah kita mencari pendapat yang paling kuat

Kalau mau membahas semua masalah itu satu per satu, dan selalu ingin memperdebatkan pendapat mana yang lebih kuat, maka habislah waktu dan tenaga kita untuk meributkannya. Padahal bahasa Arab saja tidak bisa sama sekali. Alias nol puthul.

Inilah yang disebut dengan memaksakan diri. Mengerjakan sesuatu yang di luar kemampuan kita. Bukannya manfaat yang didapat, namun madharat. Bahkan bisa-bisa bukan pahala yang diperoleh, namun dosa. Na’udzu billah min dzalik…

Antara orang awam dan pembelajar serius 

Nah, kecuali kita memang telah berniat mewakafkan hidup kita untuk membahas semua itu dengan serius dan tekun. Mempelajari bahasa Arab dengan sungguh-sungguh. Belajar tafsir al-Qur’an dengan istiqamah. Kemudian hadits dan musthalah hadits dengan paripurna. Maka lain lagi masalahnya.

Tapi kalau sekedar untuk melaksanakan ajaran Islam sebagai orang awam, maka cukuplah kita berguru pada seorang yang kita yakini akan kapasitas takwa dan ilmunya. Selanjutnya kita selalu bersikap tawadhu’ kepada orang lain yang berpendapat beda. Tidak suka menyalah-nyalahkan. Apalagi sok tahu dan keminter.

Allahu a’lam.

Tags:

0 thoughts on “Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Praktik Beragama

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.