SHOPPING CART

close

Bolehkah Kita Orang Islam Menikah dengan Orang Kristen?

Ada orang yang bertanya, apakah seorang muslim menikah dengan orang Kristen?

Jawaban singkatnya adalah: Tidak boleh.

Berikut ini penjelasannya:

Pertama: Mengenal Siapa Itu Ahlu Kitab

Orang Kristen, baik Katolik maupun Protestan, dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai Ahlu Kitab.

Ahlu Kitab itu artinya orang-orang yang beragama samawi dan memiliki kitab yang pernah diturunkan oleh Allah sebelum al-Qur’an. Yaitu Taurat, Zabur dan Injil.

Ahlu Kitab itu dipilah jadi dua, yaitu: Yahudi dan Nasrani. Nasrani ini nama lainnya adalah Kristen.

Ahlu Kitab ini memiliki kedudukan yang istimewa dalam agama Islam, karena mereka memiliki keimanan yang nyaris sama dengan kita, ummat Islam. Mereka beriman kepada Allah, hanya saja sifat-sifat Allah yang mereka imani tidak sama dengan sifat-sifat yang kita imani. Misalnya Allah punya anak.

Mereka juga beriman kepada Taurat, Zabur dan Injil. Hanya saja kita mengimani bahwa semua kitab tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sementara mereka justru tidak mengimani al-Qur’an sama sekali. Mereka juga beriman kepada para malaikat, tapi mereka mengatakan bahwa para malaikat itu adalah anak-anak Tuhan.

Demikian dan seterusnya. Intinya orang-orang Ahlu Kitab itu memiliki dasar-dasar iman yang sangat dekat dengan orang-orang Islam. Hal ini bisa kita rasakan, khususnya bila kita bandingkan dengan non-Ahlu Kitab, seperti: Hindu, Budha, atau Konghuchu.

Baca pula:

Rasulullah Saw Melarang Umatnya Hidup Membujang

Kedua: Perlakuan Khusus bagi Ahlu Kitab dengan Tujuan Dakwah

Berdasarkan kedekatan tersebut, al-Qur’an pun memberikan perlakuan khusus bagi mereka. Misalnya yang paling mudah kita temukan adalah berkaitan dengan pernikahan ini.

Bahwa kita sebagai laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlu Kitab yang baik-baik dan terhormat. Adapun seorang muslimah tetap dilarang menikah dengan non-muslim, termasuk non-muslim Ahlu Kitab.

Mengapa hanya laki-laki muslim saja yang boleh melakukan nikah beda agama ini? Tidak lain tujuannya adalah dakwah. Secara fitrah seorang suami itu lebih dominan daripada seorang istri. Karena konsep keluarga dalam Islam, seorang suami adalah pemimpin dan kepala rumah tangga.

Namun sekarang zamannya yang fitrah semakin luntur. Termasuk yang berkaitan dengan pernikahan ini. Seorang suami ternyata sekarang tidak lagi dominan. Bahkan seringkali malah didominasi istrinya. Sehingga ada istilah ISTI, yaitu Ikatan Suami Takut Istri.

Selain itu, dibolehkannya seorang muslim menikahi wanita Ahlu Kitab yang baik-baik itu terjadi di zaman masyarakat sangat menghargai poligami. Sehingga wanita Ahlu Kitab itu bisa menjadi istri yang ketiga atau keempat saja. Bukan istri satu-satunya.

Bila keadaannya sekarang adalah kebanyakan orang laki-laki takut dengan istrinya, ditambah dengan nama buruk poligami, maka jelas tujuan dakwah itu menjadi sia-sia belaka. Bukannya laki-laki muslim itu yang mengajak istrinya masuk Islam, malah bisa-bisa dia sendiri yang jadi murtad. Na’udzu billah min dzalik.

Ketiga: Kesenjangan Jumlah Wanita dan Laki-laki

Secara alamiah, jumlah wanita memang jauh lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga azas pernikahan poligami itu sebenarnya jauh lebih masuk akal daripada monogami. Tentu dengan syarat yang ketat, sehingga tidak ada kezaliman dari salah satu pihak, atau setidaknya bisa diminimalisir.

Namun kenyataannya, karena polah tingkah segelintir laki-laki yang tidak bertanggung jawab, ditambah dengan pemberitaan media massa yang biasa melebih-lebihkan perkara sederhana, jadilah nama poligami yang sesungguhnya sangat terhormat itu, nampak demikian nista di hadapan masyarakat luas, termasuk masyarakat muslim tanah air.

Nah kalau seorang muslim boleh menikah dengan seorang wanita Ahlu Kitab, lalu bagaimana nasib para wanita muslimah? Siapa yang akan menikahi mereka? Padahal jumlah wanita muslimah itu jauh lebih banyak, dan hampir semua laki-laki muslim itu tidak berani poligami.

Yang terjadi adalah, akhirnya para wanita muslimah itu menerima pinangan laki-laki non-muslim. Dan yang seperti ini bukan jadi barang aneh di negeri yang sangat kita cintai ini. Sungguh mengenaskan.

Kalau sudah begini, lalu siapa yang bertanggung jawab? Hampir semua orang saling tuduh dan saling menyalahkan, tanpa memberikan penyelesaikan ataupun solusi alternatif.

***

Kisah Khalifah Umar bin Khatthab

Suatu saat, ada seorang shahabat menikah dengan seorang wanita Ahlu Kitab di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab. Maka shahabat itu pun dipanggil Umar, dan diberikan teguran keras. Namun shahabat itu menjawab,

“Apakah engkau hendak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh al-Qur’an?”

Maka Umar pun menjawab,

“Tentu saja tidak. Aku hanya mengkhawatirkan nasib para wanita muslimah karena perbuatanmu itu.”

Maksudnya, suatu perbuatan itu janganlah hanya dinilai dari halal dan haramnya saja secara lahiriah. Namun hendakya kita juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dari perbuatan tersebut, meskipun perbuatan itu sebenarnya adalah halal. Inilah yang disebut sebagai haram li ghairihi, berdasarkan dalil Saddu Dzari’ah atau Saddu Dzarai’ dalam istilah Ushul Fiqih itu.

Nah itulah yang diperingatkan Umar di zaman keemasan Islam. Bagaimana kita menyikapi masalah ini di masa kondisi kaum muslimin tercerai-berai seperti sekarang?

Allahu a’lam bis shawab.

Tags:

2 thoughts on “Bolehkah Kita Orang Islam Menikah dengan Orang Kristen?

Tinggalkan Balasan ke Apa Hukum Menikah, Wajib atau Sunnah Sih?Batalkan balasan

Your email address will not be published.