SHOPPING CART

close

Cara Menumbuhkan dan Merawat Sifat Amanah

Sebagai sifat yang mulia, sifat amanah merupakan sifat yang bisa diusahakan untuk ada pada diri kita, sehingga amanah menjadi sifat yang menyatu pada diri dan tindakan. Sifat ini akan semakin sempurna ada pada diri kita dengan pembiasaan-pembiasaan, yang mungkin saja pada mulanya harus dipaksakan.

Berikut ini tips melatih sifat amanah yang antara lain kami sarikan dan kembangkan dari kitab Kaifa Yu’addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, karya ‘Abd al-Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr.

1. Menjaga Sifat Ikhlas

Sebagai sifat yang mulia, sifat amanah ini hanya akan mendatangkan pahala apabila dilakukan dengan ikhlas, tulus semata-mata mengharapkan ridha dari Allah Swt. Bukan untuk mendapatkan pengakuan, baik dari atasan maupun bawahan, baik dari masyarakat umum maupun keluarga. Bukan pula untuk memperoleh keuntungan, baik keuntungan materi maupun non-materi.

Ayat-ayat al-Qur’an

Mengenai keharusan sifat ikhlas sebagai syarat utama bagi diterimanya amal ini, Allah Swt. berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan, dan janganlah mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya. (al-Kahfi: 110)

Dalam ayat yang lain, Allah menegaskan, bahwa syarat diterimanya amal saleh adalah tujuan amal yang semata-mata mengharapkan ridha Allah. Allah berfirman:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ، وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا.

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh orang bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari ridha Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar. (an-Nisa’: 114)

Dalam ayat yang lain lagi, Allah memberikan penjelasan, bahwa sedekah yang disertai keikhlasan akan memberikan hasil yang pasti memuaskan. Allah berfirman:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ، وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ.

Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan yang lebat. Maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Bila hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun pun memadai. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah: 265)

Hadits-hadits Rasulullah Saw.

Demikian pula halnya ketika seorang suami memberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat ikhlas untuk mengharap pahala, perbuatan tersebut juga bernilai pahala. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ.

Bila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat yang ikhlas, maka akan dihitung sebagai sedekah. (HR. Bukhari)

Pada kesempatan yang lain, beliau juga bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ.

Tidaklah engkau menghabiskan hartamu untuk ridha Allah, melainkan engkau akan memperoleh pahala karenanya. Termasuk apa yang engkau berikan kepada isterimu. (HR. Bukhari)

Dengan memahami keikhlasan yang sesungguhnya, sifat amanah ini pun akan tumbuh dalam dada orang-orang yang beriman. Sebaliknya, tanpa sifat ikhlas, sifat amanah yang nampak di permukaan setiap aktivitas sesungguhnya hanyalah bersifat sementara. Artinya, sifat amanah itu sebenarnya palsu.

Macam-macam pamrih

Orang yang bersifat amanah tetapi tanpa sifat ikhlas, dia bersifat amanah karena pamrih duniawi. Orang yang seperti ini akan menghadapi kerugian demi kerugian, sesuai dengan keadaannya.

Apabila pamrihnya adalah keuntungan materi, maka ketika keuntungan materi tidak mungkin didapatkan, dengan ringan dia pun akan menanggalkan sifat amanah ini. Cepat atau lambat, orang lain akan mengetahui sifat dia yang sebenarnya. Orang yang memiliki sifat seperti ini akan lebih dibenci oleh orang lain, daripada orang yang memang sifatnya suka berkhianat. Karena orang yang bersifat seperti ini lebih berbahaya.

Apabila pamrihnya adalah keuntungan non-materi, seperti keinginan untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat, maka pada akhirnya dia pun akan menyesal. Karena masyarakat kadang tidak berlaku adil. Bukankah banyak orang yang baik-baik, namun malah dimusuhi oleh masyarakat. Sementara juga banyak orang yang jahat, namun malah disukai, bahkan dipuja-puja.

Sementara orang yang bersifat amanah dengan motivasi sifat ikhlas, maka dia tidak akan terpengaruh oleh keuntungan maupun kerugian, baik oleh pujian maupun makian. Yang ada dalam hatinya hanyalah ridha Allah. Asalkan Allah ridha, maka semua tidak ada artinya. Mungkin saja ketika mengalami kerugian karena sifat amanahnya, dia akan bersedih. Tapi kesedihannya akan hapus oleh kegembiraannya, karena dia yakin Allah pasti ridha kepadanya. Sebagaimana juga ketika mengalami keuntungan karena sifat amanahnya, dia pun akan merasa gembira. Tapi kegembiraannya itu tidak akan sampai membuatnya lupa diri atau tinggi hati, karena dia meyakini bahwa semua itu berasal dari ridha Allah padanya.

Baca Juga:

Amanah: Pengertian dan Fadhilah dalam al-Qur’an dan Hadits

***

2. Menyadari Tanggung Jawab Pribadi

Setiap manusia sebenarnya hanya akan berhadapan dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik perbuatan yang diketahui oleh orang lain, maupun perbuatan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan setiap amanah yang diterimanya, dalam setiap tingkatan amanah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada seorang pun manusia yang tidak memiliki tanggung jawab.

Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

Setiap diri kalian adalah pengurus, dan dia akan bertanggung jawab atas tanggungannya. Pemimpin adalah pengurus, dan dia akan bertanggung jawab atas rakyatnya. Laki-laki adalah pengurus, dan dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita adalah pengurus, dan dia bertanggung jawab atas rumah suaminya. Pembantu adalah pengurus, dan dia bertanggung jawab atas harta majikannya. (HR. Bukhari)

Jangan selalu menyalahkan orang lain

Banyak di antara kita yang hanya pandai menyalahkan orang lain, tapi tidak pandai menemukan kesalahan diri sendiri. Banyak di antara anggota masyarakat yang begitu senang mencari-cari kesalahan aparat keamanan misalnya, tapi dia sendiri suka menyuap aparat keamanan, khususnya ketika dia kena tilang di jalan raya. Dalam kasus ini, dia menuntut orang lain untuk bertindak sesuai aturan, tapi pada gilirannya justru dia sendiri juga melanggar aturan. Dan siapakah di antara kita yang benar-benar lulus ujian SIM, baik untuk mengendarai sepeda motor maupun mobil?

Juga tidak sedikit anggota masyarakat yang suka mengumpat para wakil rakyat yang sedang duduk di kursi DPR, tapi dia lupa bahwa para wakil rakyat itu bisa duduk di sana itu merupakan hasil pilihan rakyat sendiri. Jadi rupanya banyak di antara rakyat yang tidak amanah dalam memilih wakilnya, sehingga terpilihlah wakil rakyat yang juga tidak amanah. Apabila rakyat mengharapkan para wakil rakyat yang bersifat amanah, hendaknya rakyat juga memilih wakil rakyat secara amanah. Jangan terpengaruh oleh uang suap yang biasa disebut sebagai “serangan fajar” itu, yaitu uang suap yang diberikan pada waktu pagi-pagi, sebelum rakyat pergi ke bilik TPS.

Dengan cara demikian, hendaknya di mana pun diri kita menempati posisi, tidak sibuk dengan aib orang lain. Tapi hendaknya sibuk dengan kesalahan diri sendiri. Tentu kita belum lupa dengan pepatah lama yang mengatakan: Kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tidak tampak. Pepatah itu secara jitu telah menyindir kita, tanpa kecuali.

Baca Juga:  Apakah Mungkin Seorang Nabi Berlaku Khianat?

***

3. Menjaga Sumber Rezeki

Di antara bentuk usaha menumbuhkan dan menjaga sifat amanah adalah dengan menjaga sumber rezeki. Dengan rezeki yang terjaga dari unsur syubhat, apalagi haram, akan melahirkan sikap amanah anggota keluarga dan siapa pun yang menyantapnya.

Kisah Imam Syafi’i

Suatu saat, Imam Syafi’i datang bertamu ke rumah salah seorang sahabatnya. Di rumah tersebut, beliau makan dengan amat lahap. Rupanya hal itu menjadi perhatian anak tuan rumah. Tentu saja anak itu amat heran, melihat seorang ulama besar makan dengan lahap seperti kebanyakan orang. Ketika anak itu mengurnya, Imam Syafi’i pun memberikan penjelasan.

Beliau memiliki keyakinan, bahwa tuan rumah adalah orang yang saleh, dan biasa bekerja dengan amanah, sehingga hasil kerjanya merupakan rezeki yang seratus persen halal. Beliau pun menjadikan kesempatan makan di situ merupakan sebaik-baik kesempatan untuk makan sepuas-puasnya, karena sebaik-baik makanan adalah makanan yang halal.

Jadi beliau makan dengan lahap itu bukan karena makanannya lezat, atau beliau sedang kelaparan. Beliau makan dengan lahap itu karena makanan yang sedang disuguhkan adalah makanan yang diyakini sebagai makanan yang halal.

Orang berdoa sementara makannya haram

Selanjutnya marilah kita perhatikan hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ)، وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ). ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ.

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan hanya menerima yang baik. Sesungguhnya Allah memberikan perintah kepada orang-orang yang beriman sebagaimana Allah memberikan perintah kepada para rasul.”

Lalu beliau membaca ayat al-Qur’an (yang artinya), “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[1] Beliau juga membaca ayat (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.”[2] Kemudian beliau mengisahkan tentang seseorang yang dalam perjalanan jauh, hingga tubuhnya berantakan dan penuh debu. Lalu orang itu menjulurkan kedua tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Allah… Ya Allah…”

Sementara makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia pun baru selesai makan makanan haram. Bagaimana mungkin doanya akan diterima.” (HR. Muslim)

Konsumsi makanan yang halal saja

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُنْتِنُ مِنَ الإِنْسَانِ بَطْنُهُ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلاَّ طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ.

Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama membusuk adalah perutnya. Oleh karena itu, barangsiapa mampu tidak makan melainkan makanan yang baik-baik saja, hendaknya dia lakukan. (HR. Bukhari)

Sumber rezeki yang halal akan semakin mendekatkan diri kita dengan Allah Swt., sehingga kita pun semakin mudah untuk bersikap amanah. Sebaliknya, sumber rezeki yang haram akan semakin menjauhkan diri kita dari Allah Swt., sehingga kita pun semakin ringan berbuat khianat. Semoga Allah selalu memberikan kemudahan kepada kita semua untuk memperoleh rezeki yang halal, dan menjauhkan diri kita semua dari rezeki yang haram…

Baca Juga:  Contoh Sifat Amanah dalam Kehidupan Sehari-hari

***

4. Menjaga Diri dari Tindakan Korupsi

Korupsi yang sedang kita perangi dengan habis-habisan saat ini, sesungguhnya juga sudah biasa dilakukan oleh banyak orang pada masa Nabi Muhammad Saw.

Hadits pertama

Marilah kita baca riwayat berikut ini:

عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنَ الأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ وَهَذَا لِى أُهْدِىَ لِى. قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِىَ لِى. أَفَلاَ قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِى بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ؟ وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ. ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ، مَرَّتَيْنِ.

Dari Abu Humaid as-Sa’idi, dia berkata: Rasulullah Saw. mempekerjakan seseorang dari Kaum Asad yang biasa dipanggil Ibnu al-Lutbiyah untuk mengambil zakat.

Ketika sudah datang, dia berkata, “Ini untuk kalian, dan ini untukku, karena ini sudah dihadiahkan untukku.”

Seketika Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar. Beliau berhamdalah, dan bertahmid. Kemudian beliau bersabda, “Apa maksud seorang pekerja yang aku kirimkan (untuk mengambil zakat), lalu dia berkata: Ini untuk kalian, dan ini untukku, karena ini sudah dihadiahkan untukku. Apabila dia duduk di rumah ayahnya, atau di rumah ibunya, apakah kiranya dia mendapatkan hadiah atau tidak? Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah kalian menerima sedikit saja dari perbuatan itu, melainkan pada hari kiamat nanti akan menggendong seekor unta, sapi atau kambing yang selalu melenguh dan mengembik.”

Lalu beliau mengangkat kedua tangan beliau, hingga nampak ketiak beliau yang putih, dan berdoa, “Ya Allah, apakah aku sudah menyampaikan?” Beliau mengucapkannya dua kali. (HR. Muslim)

Hadits kedua

Beliau mengucapkan doa tersebut, seakan beliau mengerti bahwa kebiasaan buruk ini akan selalu muncul di tengah umat hingga akhir zaman, padahal kebiasaan tersebut amat dilarang. Pada kesempatan yang lain, beliau bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولاً يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas, lalu dia menyembunyikan sebuah jarum atau yang semisalnya, ia akan menjadi belenggu yang akan menyertainya pada hari kiamat. (HR. Muslim)

Hadits ketiga

Pada kesempatan yang lain lagi, beliau juga menyampaikan hal yang serupa.

عَنْ عَدِىِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِىِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ لَنَا عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِنْهُ مَخِيطاً فَمَا فَوْقَهُ فَهُوَ غُلٌّ يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. قَالَ: فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ أَسْوَدُ – هُوَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ – قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّى عَمَلَكَ. فَقَالَ: وَمَا ذَاكَ. قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: وَأَنَا أَقُولُ ذَلِكَ الآنَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِىَ مِنْهُ أَخَذَهُ وَمَا نُهِىَ عَنْهُ انْتَهَى.

Dari ‘Adi bin ‘Amirah al-Kindi, dia berkata:

Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai umat manusia, barangsiapa di antara kalian bekerja untuk kami, lalu dia menyembunyikan sebuah jarum atau yang semisalnya, maka ia akan menjadi belenggu pada hari kiamat yang akan menyertainya.”

Lalu ada seseorang dari kaum Anshar yang bernama Sa’d bin ‘Ubadah berkata, “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang pernah engkau berikan.”

Beliau bertanya, “Ada masalah apa?”

Dia menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian.”

Beliau bersabda, “Sekarang aku berkata, barangsiapa yang kami pekerjakan untuk suatu tugas, hendaknya dia menyerahkan seluruhnya, baik sedikit maupun banyak. Apa yang diberikan padanya, hendaknya dia mengambilnya. Apa yang dilarang untuk diambil, hendaknya dia menghindarinya.” (HR. Ahmad)

Dengan selalu menghindari tindakan korupsi hingga yang sekecil-kecilnya ini, kita pun akan terbiasa untuk bersikap amanah. Dengan demikian, kita pun akan semakin ringan untuk bersifat amanah.

Baca Juga: 

Fathanah: Pengertian dan Urgensinya dalam al-Qur’an-Hadits

***

5. Selalu Mengingat Akibat Buruk Sifat Khianat

Di antara cara untuk menumbuhkan sifat amanah adalah dengan selalu mengingat akibat buruk sifat khianat. Ada harta yang tidak berkah, karena diperoleh dengan cara yang tidak amanah. Akibatnya, harta tersebut tidak mendatangkan ketenangan dan kedamaian yang diharapkan. Justru sebaliknya, harta tersebut mendatangkan musibah yang berkepanjangan. Tidak ada musibah yang berlalu, melainkan datang musibah yang lebih parah.

Dengan harta yang tidak berkah itu, mungkin juga ada anak-isteri yang turut menikmatinya. Karena makanan yang sumbernya tidak halal, pada gilirannya juga melahirkan perilaku dan perbuatan yang tidak berkah pula. Akan tumbuh keluarga yang selalu gelisah dalam kehidupannya.

Semoga Allah menjauhkan sifat khianat ini dari diri kita dan keluarga kita sejauh-jauhnya…

[1] Al-Mu’minun: 51.

[2] Al-Baqarah: 172.

_____________

Sumber dan Bacaan: 

– Buku ar-Rusul war-Risalat‘, Syeikh Umar Sulaiman al-Asyqat.

– Artikel Shifat al-Anbiya’ war RusulSyeikh Batul ad-Daghim. mawdoo3.com

– Buku Dahsyatnya 4 Sifat NabiAhda Bina A. Lc. 

Tags:

One thought on “Cara Menumbuhkan dan Merawat Sifat Amanah

Tinggalkan Balasan ke Buku: Dahsyatnya 4 Sifat Utama Yang Dimiliki Setiap NabiBatalkan balasan

Your email address will not be published.