SHOPPING CART

close

Diskusi Bersejarah Syeikh al-Buthi dan Syeikh al-Albani

Adalah diskusi serius antara dua ulama kelas dunia, yaitu:

Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi

Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif, utamanya di bidang fiqih. Kajian beliau selalu mendalam, mencerminkan kepakaran beliau di bidang ini.

Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Beliau dikenal sebagai ulama yang juga sangat produktif, utamanya di bidang hadits. Kekuatan beliau ada pada kuantitas karya yang fenomenal. Meskipun menimbulkan pro dan kontra yang demikian luas.

Tema diskusi antara dua tokoh ini adalah:

  • Ijtihad, Taqlid, Ittiba’
  • Mujtahid, Muttabi’, Muqallid

Diskusinya sangat panjang. Jadi siapkan kopi dan camilan ya hehehe…

Baca Juga:

ITTIBA’: Pengertian, Contoh dan Penjelasan Hukumnya

***

Istinbath Ahkam

Al-Buthi: Bagaimana cara anda memahami hukum Allah? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid?

Al-Albani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

(Teori yg disampaikan Syeikh Albani ini memang bagus dan ideal. Namun praktiknya sangat berat, susah dan dijamin di antara kita semua tidak ada yang mampu, termasuk Syeikh Albani pun nanti akan terbukti dan beliau akui sendiri.)

Baca Juga:

TAKLID: Pengertian, Contoh dan Penjelasan Hukumnya

***

Mari Kita Praktikkan

Al-Buthi: Seandainya Anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut? Apakah setelah enam bulan ke depan ataukah setelah satu tahun?

Al-Albani: Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati?

Al-Buthi: Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Al-Albani: Hai Saudaraku! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami ke sini adalah untuk membahas masalah yang lain!

Baca Juga:

Dalil Qath’i dan Zhanni: Pengertian, Contoh, Macam-macam

***

Apakah Setiap Muslim Wajib Mentarjih?

Al-Buthi: Baiklah..! Kami ingin bertanya, apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits?

Al-Albani: Ya benar!

Al-Buthi: Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna, karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Baca Juga:

Madzhab: Pengertian, Macam-macam, Hukum dan Hikmahnya

***

Muqallid, Muttabi’ dan Mujtahid

Al-Albani: Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam: Muqallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab, kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Muqallid dan Mujtahid.

(Al-Albani menyebut muttabi’ berada diantara muqallid dan mujtahid. Tapi kapasitas muttabi’ di sini menjadi lebih unggul dari mujtahid. Karena mujtahid sendiri pun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab, lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Inilah yang dimaksud Al-Buthi sebagai “Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu”. Tapi Al-Albani tidak menjawab pertanyaan Al-buthi, apakah setiap orang Islam harus sedekimian itu.)

Baca Juga:

Bid’ah: Pengertian, Contoh dan Macam-macamnya

***

Hakekat Muqallid

Al-Buthi: Apa sebenarnya kewajiban Muqallid?

Al-Albani: Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Al-Buthi: Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain?

Al-Albani: Ya, hal itu hukumnya haram!

Al-Buthi: Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya?

Al-Albani: Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Baca Juga:

Ijma’: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam dan Kedudukan

***

Qiraat Mana Yang Anda Gunakan?

Al-Buthi: Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an?

Al-Albani: Qiro’at Imam Hafash .

Al-Buthi: Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda?

Al-Albani: Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.

(Golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada. Mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini? Sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus-menerus maka mereka haramkan. Beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka. Walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya!)

Al-Buthi: Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash? Sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an!

Al-Albani: Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash!

Baca Juga:

Istihsan: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukannya

***

Imam Qiraat dan Imam Mazhab Fiqih

Al-Buthi: Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i.

Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si muqallid tadi.

Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para muqallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain? Sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus. Begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus-menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain!

Al-Albani: Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai keyakinan bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.

Baca Juga:

‘Urf: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam dan Kedudukan

***

Apakah berdosa mengikuti imam tertentu?

Al-Buthi: Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya?

Al-Albani: Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa!

Al-Buthi: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain!

Al-Albani: Mana…?

Baca Juga:

Istishab: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukannya

***

Syeikh al-Khajandi

(Kemudian ia ingat pernyataan Syeikh Khajandi yang berbunyi: “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah. Maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi-buta. Dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu Al-Albani memberikan penjelasan, bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah meyakini wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Di dalam pernyataan itu terdapat penyingkatan kalimat.)

Al-Buthi: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan?

(Terhadap pertanyaan Dr. Al-Buthi ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena di dalam ucapannya itu terdapat penyingkatan kalimat.)

Al-Buthi: Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya penyingkatan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia meyakini wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa, karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at, melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Baca Juga:

Maslahah Mursalah: Pengertian Contoh Macam Syarat Kedudukan

***

Apakah kita diwajibkan mengikuti mazhab tertentu?

Al-Albani: Bagaimana bisa demikian? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu, bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus-menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain!

Al-Buthi: Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yang menyatakan demikian!

(Terhadap permintaan Al-Buthi ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Al-Buthi itu benar, dan dia (anti madzhab) pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri. Yakni perkataan mereka bahwa banyak orang mengharamkan berpindah-pindah madzhab.)

Al-Buthi: Anda tidak akan menemukan satu orang pun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah ke madzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Baca Juga:

Qaul Shahabi: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukan

***

Apa Beda Muqallid dan Muttabi’?

Al-Buthi: Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi’?

Al-Albani: Perbedaannya ialah dari segi bahasa.

(Lalu Al-Buthi mengambil beberapa kitab kamus, agar Al-Albani dapat menunjukkan perbedaan makna dua kalimat tersebut secara bahasa, tetapi Al-Albani tidak bisa menunjukkannya.)

Al-Buthi: Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, “Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti).” Abu Bakar mengatakan taba’un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).

Al-Albani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah, dan hak saya untuk membuat suatu istilah.

Baca Juga:

Saddu Dzari’ah: Pengertian, Contoh, Macam-macam, Kedudukan

***

Hanya Ada Muqallid dan Mujtahid

Al-Buthi: Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakekat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi’, kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu beristinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah yang lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, yaitu: mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.

Al-Albani: Sesungguhnya muttabi’ adalah orang yang mampu membedakan pendapat para mujtahid dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu dari pendapat itu. Tingkatan ini berbeda dengan taqlid.

Baca Juga:

Amal Ahli Madinah: Pengertian, Contoh, Macam dan Kedudukan

***

Mujtahid Yang Paling Tinggi

Al-Buthi: Kalau yang Anda maksudkan membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkatan ini adalah lebih tinggi daripada para imam mujtahid. Apakah Anda mampu berbuat demikian?

Al-Albani: Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.

(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam mujtahid. Sebab ia mampu membedakan pendapat para mujtahid dan dalil-dalilnya. Meski dengan catatan: “sejauh kemampuan saya”. Al-Buthi mencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu.)

Baca Juga:

Syar’u Man Qablana: Pengertian, Contoh, Macam dan Kedudukan

***

Masalah Talak Tiga

Al-Buthi: Kami mendengar, Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dijatuhkan dalam satu kesempatan maka jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa itu Anda telah meneliti pendapat para imam madzhab serta dalil-dalil mereka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka, lalu baru Anda berfatwa? Ketahuilah, bahwa Uwaimir Al-ljlani telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Yaitu setelah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia berkata, “Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, bila saya mempertahankannya sebagai istri, maka dengan ini saya jatuhkan talak tiga.” Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadits ini dan kedudukannya dalam masalah ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?

Al-Albani: Saya belum pernah membaca hadits ini.

Baca Juga:

Talak Tiga Yang Diucapkan Sekaligus: Kajian Hadits

***

Belum menelaah secara tuntas

Al-Buthi: Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dalil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil-dalilnya? Kalau begitu Anda telah meninggalkan prinsip yang Anda sendiri, yaitu ittiba’, menurut istilah yang Anda buat sendiri.

(Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pernyataannya sendiri, “Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur’an dan sunnah.” Berikutnya, ia pun memberikan alasan akan hal itu).

Al-Albani: Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.

Al-Buthi: Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin, padahal Anda belum memeriksa dalil-dalil mereka?

Al-Albani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut, sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

Al-Buthi: Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan “Saya tidak tahu tentang masalah ini”, atau Anda terangkan saja pendapat empat madzhab itu kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam itu, tanpa memberikan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat. Yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajiban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda, mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma’ keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di pihak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.

Baca Juga:

Qira’at dalam al-Qur’an: Pengertian, Contoh, Pengaruh Tafsir

***

Kitab Subulus Salam dan Fiqh Sunnah

Al-Albani: Saya telah menelaah pendapat keempat imam madzhab dalam kitab Subulus-Salam, juga karya Asy-Syaukani, dan Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq.

Al-Buthi: Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang berseberangan dengan keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dari keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari si tertuduh?

Al-Albani: Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.

Baca Juga:

Kitab-kitab Hadits Induk Yang Paling Populer

***

Susahnya Menjadi Muttabi’

Al-Buthi: Anda telah menyatakan diri sebagai muttabi’ dan kita semua hendaknya menjadi muttabi’. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba’ ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, lalu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang. Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini. Hanya saja Anda belum membacanya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma’ mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak semula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab itu tidak dapat diterima?

Al-Albani: Tidak, cuma saya tidak sempat membacanya, karena saya tidak memiliki kitab-kitab empat madzhab itu.

Al-Buthi: Mengapa Anda tidak mau bersabar? Mengapa Anda tergesa-gesa padahal Allah SWT tidak menyuruh Anda berbuat demikian? Apakah karena Anda tidak mendapati dalil-dalil ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimiyyah? Bukankah sikap fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan sendiri?

Al-Albani: Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.

Al-Buthi: Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya. Apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya. Sekalipun ia belum mendapati dalil-dalil madzhab-madzhab tersebut?

Al-Albani: Ya, cukup.

Baca Juga:

Kitab Hadits: Shahih, Sunan, Musnad, Muwattha’, Mustadrak

***

Kisah Seorang Muallaf

Al-Buthi: Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam. la sama sekali tak mengetahui pendidikan agama Islam, lalu ia membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah 115.

Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana ditunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu. Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus menghadap Ka’bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatinya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu ia hendak mengerjakan shalat?

Apakah cukup dengan mengikuti panggiian hatinya karena ia telah menemukan ayat Al-Qur’an tersebut, atau ia harus mengikuti pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?

Al-Bani: Cukup dengan mengikuti panggilan hatinya.

Al-Buthi: Meskipun dengan menghadap ke arah timur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?

Al-Albani: Ya, karena ia wajib mengikuti panggilan hatinya.

Baca Juga:

Inilah 5 Alasan Mengapa Kita Harus Belajar Baca Kitab

***

Memenuhi Panggilan Hati Yang Salah

Al-Buthi: Andaikata panggilan hati pemuda itu mengilhami dirinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya. Memenuhi perutnya dengan khamer dan merampas harta orang lain. Apakah Allah akan memberikan ampunan kepadanya lantaran panggilan hatinya itu?

(Al-Albani terdiam sejenak.)

Al-Albani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada wujudnya.

Al-Buthi: Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan seringkali terjadi hal seperti itu. Bahkan yang lebih aneh lagi.

(Iya, contohnya ada orang Islam yang mengharamkan daging ayam, hehehe…)

Al-Buthi: Bisa saja ada seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah. Kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur’an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat.

Hal ini bisa saja terjadi, selama masih ada ada orang Islam yang tidak tahu sama sekali ilmu agama. Entah ini nyata atau hanya khayalan, ternyata anda berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cukup dengan adanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Anda sendiri, bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’.

Baca Juga:

Nailul Authar: Kitab Hadits-Fiqih Paling Berpengaruh

***

Tidak Sempat Membaca Ayat dan Hadits

Al-Albani: Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak membaca hadits atau ayat lainnya?

Al-Buthi: la tidak memiliki cukup bahan untuk meneliti, sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. Ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain ayat di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ijma’ para ulama?

Al-Albani: Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

Baca Juga:

Asbabul Wurud: Pengertian, Contoh, Fungsi dan Macamnya

***

Panggilan Hati Akar Radikalisme

Pandangan ini jelas menyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Al-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Alla Madzhabiyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Sari’ah al-lslamiyah – Anti Madzhab: Bid’ah Paling Barbahaya dan Menghancurkan Syariat Islam.

Betapa tidak?

Bayangkan saja, seandainya para muallaf atau orang-orang Islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Taubah ayat ke-5, yang artinya, “Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka”. Atau ayat-ayat yang redaksinya semacam itu. Lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta-merta bertekad bulat akan memenuhi panggilan hatinya untuk “menjalankan perintah Allah” ini.

Dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?

Tak aneh bila banyak pengamat menilai bahwa embrio radikalisme acapkali bermula dari paham tekstualis atau zhahiriyah seperti ini.

Rupanya metode pokok istinbath hukum salah satu tokoh pemuka anti madzhab ini adalah mengikuti panggilan hati.

Dan cocoklah kiranya bila kita menamai madzhab Al-Albani ini dengan Madzhab Panggilan Hati.

Baca Juga:

Hadits Syadz dan Mahfuzh: Pengertian, Contoh dan Penjelasan

***

Tidak Takut Disiarkan

Al-Buthi: Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.

Al-Albani: Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya, dan saya tidak takut.

Al-Buthi: Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tidak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahui.” QS-An Nahl: 43.

Al-Albani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum – terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma’shum (maksudnya nash-nash agama seperti Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma’shum?

Baca Juga:

Hadits Mutawatir: Pengertian, Contoh dan Macam-macamnya

***

Perbedaan antara Maksud Allah dan Tafsir Ulama

Al-Buthi: Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat.” Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam itu sama sekali tidak ma’shum. Jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman para imam mujtahid, yang keduanya memang tidak ma’shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.

Al-Albani: Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.

Baca Juga:

Tafsir dan Takwil: Pengertian, Contoh dan Perbedaan

***

Dokter dan Brosur Kesehatan

Al-Buthi: Tolong jawab pertanyaan ini. Ada orang mempunyai anak kecil yang sedang sakit panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota itu, anak itu harus diberi obat khusus, dan mereka melarang orangtua anak itu untuk mengobatinya dengan antibiotik. Mereka pun telah memberitahu orangtua si anak bahwa sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja akan menyebabkan kematian si anak.

Suatu ketika orangtua itu membaca selebaran brosur kesehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik bisa bermanfaat untuk mengobati sakit panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter. Dengan panggilan hatinya, ia memberikan antibiotik kepada anaknya, dan meninggallah si anak. Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?

Al-Albani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini, dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sedang kita bicarakan.

(Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana ini. Oleh karena itu, mana mungkin ia mampu membandingkan hujjah-hujjah para imam madzhab?)

Baca Juga:

Mujtahid: Pengertian, Syarat-syarat dan Tingkatannya

***

Tidak Paham dan Kurang Ilmu

Al-Buthi: Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hal yang tengah kita bicarakan. Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma’ (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma’ para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran, orangtua itu berpegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagaimana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.

Al-Albani: Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur’an tidak dapat disamakan dengan yang lain.

Al-Buthi: Apakah pantulan cahaya Al-Qur’an itu dapat dipahami oleh setiap orang yang membaca Al-Qur’an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur’an?

Al-Albani: Panggilan hati adalah yang paling pokok.

Al-Buthi: Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagi orangtua itu baik dari segi syari’at maupun tuntunan hukum?

Al-Albani: Dia tidak boleh dituntut apa-apa.

Al-Buthi: Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi kita cukupkan saja sampai di sini. Sudah buntu jalan untuk mempertemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda telah keluar dari ijma’ kaum muslimin.

***

Penutup

Dan demikianlah. Ternyata pengetahuan terhadap hadits saja tidak cukup. Namun juga harus disertai pemahaman yang tepat. Di mana untuk memahami hadits itu kita perlu merujuk kepada keterangan dan penjelasan yang disampaikan oleh para ulama. Maka di sinilah muncul istilah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu fiqih.

Tanpa dasar-dasar keilmuan yang cukup, maka pemahaman kita kepada ayat-ayat al-Qur’an maupun kepada hadits menjadi aneh dan nyeleneh. Sehingga al-Qur’an dan hadits punya potensi mengantarkan kepada paham radikal, ekstrim dan menyimpang. Karena tidak disertai pemahaman (fiqih) yang tepat.

Allahu a’lam.

________________

Catatan:

Terjemahan ini kami nukil dari situs nu.or.id dengan banyak perbaikan redaksi kalimat, teknis penulisan dan terjemahan.

Bagi yang berminat dengan bukunya yang asli (berbahasa Arab) di mana diskusi ini berlangsung, bisa pesan pada kolom komentar, dan kami kirim via email atau wa.

Terima kasih.

la-mazhabiyah

Tags:

0 thoughts on “Diskusi Bersejarah Syeikh al-Buthi dan Syeikh al-Albani

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.