SHOPPING CART

close

Qawa’id Fiqhiyah (1): AL-UMURU BI MAQASHIDIHA

اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

AL-U-MUU-RU BI MA-QAA-SHI-DI-HAA

Semua Urusan Itu Tergantung pada Niatnya

 

A. Makna Qawa’id Al-Umuru Bi Maqashidiha

Al-umur: jamak dari al-amr. Artinya: urusan, permasalahan, keadaan, pekerjaan.

Al-maqashid: jamak dari al-maqshad. Artinya: maksud, tujuan, niat, kehendak.

اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

“Semua urusan itu tergantung pada niatnya.”

Baca Juga:

QAWA’ID FIQHIYAH: Pengertian, Contoh, Sejarah, Kedudukan

***

B. Contoh Masalah Al-Umuru Bi Maqashidiha

Berikut ini kami sampaikan beberapa contoh yang berkaitan dengan Qawa’id di atas:

1. Gosok Gigi

Niat atau tujuan menjadi pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Seperti orang yang gosok gigi sebelum berwudhu. Ada yang niatnya ibadah, ada yang niatnya untuk kesehatan, ada pula yang niatnya menghilangkan bau mulut saja.

Bila niat bergosok gigi untuk ibadah, maka gosok gigi merupakan sunnah wudhu. Sehingga wudhu menjadi lebih sempurna.

BIla niat bergosok gigi adalah untuk menjaga kesehatan gigi, maka tidak menjadi amalan kesempurnaan wudhu. Demikian pula halnya dengan niat gosok gigi dengan tujuan menghilangkan bau mulut. Tidak menjadi amalan kesempurnaan wudhu.

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 2: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Keraguan

**

2. Shalat Dhuha atau Shalat Shubuh Kesiangan

Niat menjadi pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Seperti orang yang shalat dua rakaat pada pukul sembilan pagi. Apakah dia shalat Dhuha, shalat hajat, atau shalat Shubuh kesiangan? Niatlah yg menjadi pembeda.

Bila niatnya shalat Dhuha, maka itu merupakan shalat Dhuha. Bila niatnya shalat Shubuh kesiangan, maka itu merupakan shalat Shubuh. Meskipun dilakukan pada jam 09.00. Juga meskipun bacaan dan gerakannya sama. Karena yang paling adalah niatnya. Niat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Meskipun secara lahiriyah bentuk perbuatannya sama.

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 3: Kesusahan Itu Mendatangkan Kemudahan

**

3. Aku antar kamu pulang ke rumah orangtuamu

Seorang suami berkata kepada istrinya: “Mari, aku antar kamu pulang kepada kedua orangtuamu.” Niatlah yang akan menentukan, apakah suami itu mentalak istrinya dengan bahasa kiasan, atau mengajak istri menengok orangtuanya.

Bila seorang mengatakan hal itu dengan niat talak, maka jatuhlah talak satu. Bila dia mengatakan hal itu dengan niat menyuruh istri liburan, maka tidak jatuh talak.

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 4: Mudharat Harus Dihilangkan

**

4. Ambil Sepeda Motor Ini

Seseorang menyerahkan sepeda motor kepada temannya, dan berkata, “Ambillah sepeda motor ini!” Niatlah yang menentukan, apakah dia hendak memberikan sepeda motor itu sebagai hadiah, atau sekadar meminjamkannya.

Bila dia mengatakan hal itu dengan niat memberi, maka kepemilikan sepeda motor itu pun telah pindah. Sepeda motor itu menjadi milik orang lain.

Bila dia mengatakannya dengan niat memberikan pinjaman, maka kepemilikan sepeda motor itu tetap ada padanya. Tidak pindah kepada orang lain.

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 5: Adat Itu Memiliki Kekuatan Hukum

**

5. Doa kebaikan atau lamaran

Seorang lelaki berkata kepada seorang wanita yang ditalak suaminya, “Semoga Allah memberikan ganti yang lebih baik padamu.” Padahal wanita itu masih dalam masa iddah. Niatlah yang menentukan, apakah laki-laki itu sedang melamar dengan bahasa kiasan, atau sekedar mendoakan kebaikan.

Bila niatnya adalah melamar, maka perkataan itu merupakan lamaran. Di mana hal itu dilarang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang masih sedang dalam masa iddah perceraian. Baik dilakukan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi (memakai bahasa kiasan). Maka laki-laki itu berdosa.

Bila niatnya adalah mendoakan, maka hal itu tidak masalah. Boleh-boleh saja. Tidak berdosa. Atau bahkan memperoleh pahala, karena telah mendoakan kebaikan. Namun sebaiknya tidak dilakukan, karena bisa membuat orang lain salah tafsir.

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 6: Tetapnya Sesuatu Pada Keadaan Yang Semula

***

C. Dalil Qawa’id Al-Umuru Bi Maqashidiha

Berikut ini kami sampaikan beberapa dalil berkaitan dengan Qawa’id di atas:

1. Surat An-Nisa’ Ayat 100

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 7: Kondisi Dharurat Itu Menghalalkan Yang Haram

**

2. Surat Al-Baqarah Ayat 225

وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 8: Menghindari Mafsadah Lebih Diutamakan

**

3. Surat An-Nahl Ayat 106

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 9: Mudharat Tidak Dihilangkan dengan Mudharat

**

4. Hadits Umar

Rasulullah Saw. bersabda:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئٍ ما نوى

“Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh balasan sesuai dengan niatnya.”

(HR. Bukhari)

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 10: Bila Yang Halal Bercampur dengan Yang Haram

**

5. Hadits Anas

Marilah kita perhatikan hadits berikut ini:

عن أنس بن مالك، أن رجلًا من الأنصار من بني عمرو بن عوف، قال: يا رسول الله، إنك رغبتنا في السواك، فهل دون ذلك من شيء؟ قال: أصبعاك سواك عند وضوئك، تمرهما على أسنانك، إنه لا عمل لمن لا نية له، ولا أجر لمن لا حسبة له

Dari Anas bin Malik, bahwa ada seseorang dari kaum Anshar dari Bani ‘Amr bin ‘Auf bertanya:

“Wahai Rasulullah, engkau menganjurkan kami untuk bersiwak. Apakah ada yang lebih ringan dari siwak itu?”

Beliau bersabda:

“Jari-jarimu bisa Engkau gunakan untuk bersiwak ketika Engkau berwudhu. Engkau gunakan jari-jarimu itu untuk menggosok gigimu. Sesungguhnya tidak sah suatu amal yang dilakukan tanpa niat. Dan tidak ada pahala bagi orang yang tidak mengharapkan perhitungan.”

(HR. Baihaqi)

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 11: Hukum Sarana Sama dengan Hukum Tujuan

**

6. Hadits Sa’id bin Abi Waqash

Rasulullah Saw. bersabda:

إنك لن تنفقَ نفقةً تبتغي بها وجه الله إلا أجرت عليها، حتى ما تجعل في فِي امرأتك

“Sungguh tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan mengharapkan ridha Allah melainkan Engkau pasti memperoleh pahala. Termasuk apa yang engkau suapkan pada mulut istrimu.”

(HR. Bukhari)

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 12: Ridha Akan Sesuatu Ridha Akan Akibatnya

**

7. Hadits Abu Darda’

Rasulullah Saw. bersabda:

مَن أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي بالليل، فغلبته عينه حتى يصبح، كتب له ما نوى، وكان نومه صدقةً عليه من ربه

“Barangsiapa berbaring di atas kasurnya dengan niat nanti akan bangun untuk shalat malam, lalu ternyata dia tertidur sampai Shubuh, maka dia telah memperoleh pahala sesuai niatnya. Adapun tidurnya itu adalah sedekah dari Allah untuknya.”

(HR. Ibnu Khuzaimah)

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 13: Rukhshah Tidak Boleh untuk Maksiat

***

D. Beberapa Qawa’id Yang Berkaitan dengan Al-Umuru Bi Maqashidiha

Berikut ini kami sampaikan beberapa Qawa’id yang berkaitan dengan Qawa’id di atas:

1.

العبرة في العقود للمعاني لا للألفاظ والمباني

“Yang diperhatikan dalam akad adalah maknanya. Bukan lafazh atau redaksinya.”

2.

تخصيص العام بالنية مقبول ديانةً لا قضاءً

“Takhshish bagi yang ‘amm dengan niat itu bisa diterima secara agama, namun tidak diterima secara hukum.”

3.

اليمين على نية الحالف إن كان مظلومًا، وعلى نية المستحلف إن كان ظالِمًا

“Sumpah itu sesuai dengan niat orang yang mengucapkan sumpah, apabila dia di posisi yang dizalimi. Namun sumpah itu sesuai dengan niat orang yang minta diucapkannya sumpah, apabila orang yang bersumpah itu ada di posisi yang menzalimi.”

4.

الأيمان مبنية على الألفاظ لا على الأغراض

“Sumpah itu dibangun berdasarkan lafazh, bukan niat.”

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 14: Yang Tidak Wajib Bisa Menjadi Wajib Jika

***

E. Catatan Penting

Berikut ini kami sampaikan beberapa catatan berkaitan dengan Qawa’id di atas:

1. Niat yang baik tidak bisa menghalalkan perbuatan haram. Seperti mencuri dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin, hukumnya tetap haram.

2. Niat perbuatan yang baik, namun ternyata malah mencelakakan orang lain, maka pelakunya tetap wajib memberikan ganti rugi. Demikian pula perbuatan yang tidak diniatkan, alias tidak sengaja. Seperti memindahkan pot bunga di toko, kemudian tidak sengaja terlepas, jatuh dan pecah.

3. Apakah niat harus dilafazkan?

Ada niat yang wajib dilafazkan, seperti niat berhaji dan berumrah itu wajib dilafazkan. Karena hal ini diperintahkan oleh Rasulullah Saw.

Ada niat yang sebaiknya dilafazkan, seperti niat puasa Ramadhan. Karena ada peringatan dari Rasulullah Saw. bahwa puasa Ramadhan tidak sah tanpa diniatkan pada malam harinya. Dalam hal ini niat dilafazkan untuk membantu hati.

Ada niat yang boleh dilafazkan, seperti niat berwudhu dan shalat. Karena kadang setelah takbiratul ihram kita baru ingat dengan niat. Ini mau shalat sunnah tahiyatul masjid atau shalat rawatib. Dengan demikian, niat dilafazkan untuk antisipasi.

4. Ada orang melafazkan niat shalat Shubuh dengan ucapan: “Ushalli fardhas Shubhi tsalatsa raka’at…”

Bila diterjemahkan: “Aku niat shalat Shubuh tiga rakaat…” Kemudian dia shalat dua rakaat.

Apakah shalatnya sah?

Jawabannya: Shalatnya sah. Karena niat itu yang penting pada hatinya, bukan pada lisannya.

5. Untuk memahami masalah niat ini, kita bisa menyimak artikel berikut:

Baca Juga:

Qawa’id Fiqhiyah 15: Rukhshah Berakhir dengan Berakhirnya Udzur

***

Penutup

Demikian sekilas mengenai Qawa’id Fiqhiyah yang berkaitan dengan niat. Semoga ada manfaatnya bagi kita bersama.

Allahu a’lam.

_____________________

Sumber Bacaan:

– Artikel:

Al-umur bi maqashidiha. Abul Kalam Syafiq al-Qasimi al-Muzhahiri.

buku-kaidah-fiqih
Salah satu kitab Qawa’id Fiqhiyah terbaik karya anak bangsa.
Tags:

4 thoughts on “Qawa’id Fiqhiyah (1): AL-UMURU BI MAQASHIDIHA

Tinggalkan Balasan ke Hukum Kebiri Kucing: Sesuai dengan TujuannyaBatalkan balasan

Your email address will not be published.