SHOPPING CART

close

Qawa’id Fiqhiyah 7: Kondisi Dharurat Itu Menghalalkan Yang Haram

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Adh-dha-ruu-raa-tu tu-bii-hul-mad-zhuu-raat.

Kondisi dharurat itu menghalalkan yang haram.

 

Contoh:

1. Makan bangkai itu haram, namun menjadi halal dalam keadaan dharurat.

2. Minum khamer itu haram, tapi menjadi halal dalam keadaan dharurat.

3. Berzina itu haram, tapi menjadi halal dalam keadaan dharurat.

4. Meninggalkan puasa Ramadhan adalah haram. Namun menjadi halal dalam keadaan dharurat.

5. Mencuri adalah haram, namun menjadi halal bagi orang yang sangat kelaparan yang hampir kepada kematian.

***

Catatan:

1. Dharurat: keadaan yang mengancam keselamatan nyawa atau menyebabkan cacat jasmani.

2. Yang diharamkan di sini terbatas kepada hak Allah. Yaitu sifat haramnya menjadi hilang.

3. Adapun hak manusia tetap menjadi tanggung jawab pelaku. Oleh karena itu dia harus memberikan ganti rugi kepada korban.

4. Misalnya ada orang kelaparan, lalu mencuri dan memakan barang hasil curiannya. Perbuatan mencuri itu haram, namun dimaafkan oleh Allah. Dia tidak berdosa. Adapun barang curian itu kan milik orang lain. Selama yang punya tidak mengikhlaskan, maka pelaku wajib memberikan gantinya di saat ada kelonggaran.

5. Kaidah ini berkaitan erat dengan kaidah:

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ

Adh-dha-ra-ru laa yu-zaa-lu bidh-dha-rar.

Mudharat tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan mudharat yang lain.

Juga dengan kaidah:

الرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي

Ar-ru-kha-shu laa tu-naa-thu bil-ma-‘aa-shii.

Rukhshah tidak boleh diambil untuk melaksanakan maksiat.

Tags:

0 thoughts on “Qawa’id Fiqhiyah 7: Kondisi Dharurat Itu Menghalalkan Yang Haram

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.