SHOPPING CART

close

Menyembunyikan Amarah: Kisah Teladan Imam Ali

Di antara ciri-ciri orang yang bertakwa, dalam surat Ali Imran ayat 134 Allah menjelaskan, yaitu orang yang mampu menyembunyikan amarah.

Allah Swt. berfirman:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(Di antara sifat orang yang bertakwa adalah) mampu menahan amarah, memaafkan orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuah kebajikan.”

Hubungan takwa dan emosi

Di antara sifat dasar manusia adalah kemampuannya untuk marah. Jadi perasaan marah adalah wajar, alias manusiawi. Tidak aneh.

Sama dengan perasaan lapar, haus, kecewa, senang, sedih, dan seterusnya. Karena manusia bukan robot.

Justru pada saat-saat itu seperti itulah terdapat potensi pahala. Tentu saja juga dosa. Bila kita mampu mengendalikan berbagai perasaan itu sesuai dengan tuntunan-Nya, maka di situlah terdapat ridha Allah. Demikian pula sebalinya.

Tiga tingkatan takwa dalam amarah

Terdapat tiga tingkatan takwa yang tersimpan dalam kondisi kita sedang marah besar. Bila kita mampu mengendalikan hawa nafsu, maka di situlah kita telah memperoleh derajat takwa dengan sempurna.

Pertama, adalah menahan emosi. Menyembunyikan amarah. Sehingga tidak ada dampak negatif dari hadirnya perasaan marah itu. Semua baik-baik saja.

Kedua, adalah kemampuan untuk memaafkan kesalahan orang lain yang telah membuat kita marah. Karena boleh jadi kita mampu mengendalikan amarah pada saat itu. Namun sebagai manusia biasa, kita akan menuntut ganti rugi. Kepada orang yang telah membuat kita marah itu.

Ketiga, adalah kemampuan untuk berbuat baik kepada orang yang telah membuat kita marah dan menyebabkan kerugian. Sungguh luar biasa. Bukan hanya mengendalikan emosi dan tidak menuntut balas. Bahkan mampu memberikan hadiah kepada orang yang telah membuat kita marah.

Apa lagi yang bisa kita ucapkan kepada orang seperti itu, kalau bukan predikat manusia yang mulia. Sungguh mulia.

Baca juga:  Nabi Sulaiman: Raja Yang Fathanah dan Penuh Hikmah

Kisah Imam Ali

Suatu saat Imam Ali sedang berwudhu ditemani seorang budak beliau dengan menuangkan air dari sebuah kendi. Tiba-tiba kendi itu mrucut, lepas dari tangan si budak, dan pecah. Maka tanpa bisa dicegah lagi air yang pada masa itu demikian berharga tumpah begitu saja di depan mereka.

Terlihat oleh si budak wajah Imam Ali seketika menjadi merah padam. Tentu karena amarah. Namun ternyata budak Imam Ali ini bukan sembarang budak. Budak yang saleh dan terpelajar itu segera membaca surat Ali Imran di atas, “Wal kadhiminal-ghaidha.”

Imam Ali segera sadar dan berusaha menguasai diri. Bukankah Rasulullah telah memberikan tuntunan bahwasanya yang disebut kuat perkasa itu bukan karena kemampuan ototnya, namun orang dinamakan perkasa yaitu bila terbukti mampu menguasai diri ketika sedang dilanda amarah. Maka tiada pilihan lain bagi beliau selain mengucapkan, “Baik, aku tahan amarahku karena Allah.”

Sang budak melanjutkan potongan ayat tersebut, “Wal-‘afina ‘anin-nas.”

Imam Ali menjawab, “Ya, engkau juga telah aku maafkan.”

Lalu sambil tersenyum budak itu menyelesaikan ayat tadi, “Wallahu yuhibbul-muhsinin.

Dan Imam Ali yang sangat peka pun tanggap akan sindiran budanya. Beliau tidak punya pilihan selain mengucapkan, “Baiklah, mulai saat ini engkau merdeka.”

Itulah Imam Ali, istri Siti Fathimah, putra menantu Rasulullah Saw.

Bagaimana dengan diri kita sendiri?

Tags:

One thought on “Menyembunyikan Amarah: Kisah Teladan Imam Ali

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.