SHOPPING CART

close

Hadits Arbain Nawawi (1): Niat Menentukan Amal Perbuatan

Pendahuluan

Dalam Islam, amalan itu ada tiga macam, yaitu: amalan hati, amalan lisan, dan amalan anggota badan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan, dan saling mempengaruhi.

Dari ketiga amalan itu, amalan yang paling utama adalah amalan hati. Dan amalan hati yang paling utama adalah niat. Oleh karenai itu, pada kesempatan ini kami akan mengetengahkan sebuah hadits yang sangat masyhur tentang niat.

Dalam himpunan hadits Arba’in Nawawiyah, Imam Nawawi meletakkan hadits ini sebagai hadits yang pertama. Hal ini tentu juga mengingat pentingnya hadits niat ini.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 42: Luasnya Pintu Ampunan Allah Swt.

***

A. Teks Hadits Arbain Nawawi (1)

:عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ

:سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ

وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 رَوَاهُ ِإمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ

أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةَ الْبُخَارِيُّ

وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ

فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا الَّّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (2): Islam Iman Ihsan dan Tanda Kiamat

***

B. Terjemah Hadits Arbain Nawawi (1)

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya.  Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh balasan berdasarkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan ridha) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada (ridha) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin dicapainya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

(Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua imam besar di bidang hadits, yaitu: Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam kitab hadits shahih mereka masing-masing. Dan kedua kitab itu adalah  kumpulan informasi paling sahih yang pernah dihimpun manusia.)

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (3): Rukun Agama Islam Yang Utama

***

C. Penjelasan Hadits Arbain Nawawi (1)

Para pakar hadits sepakat untuk menerima kesahihan hadits di atas. Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Syafi’i berkata, “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu, dan mencakup tujuh puluh bab dalam ilmu fiqih”.

“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya.” Maksudnya, bahwa semua perbuatan itu dinilai baik atau buruk, sah atau tidak, diterima atau tidak, tergantung pada niat pelakunya.

Selanjutnya berikut ini beberapa catatan dan keterangan tentang hadits di atas:

1. Pengertian Niat

Secara bahasa, niat artinya: maksud (al-qashdu) dan kehendak (al-iradah).

Adapun secara istilah, niat memiliki dua pengertian, yaitu: pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, dan pembeda antara beberapa tujuan dalam beramal.

a. Niat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain

Misalnya pembeda antara shalat Dhuhur dan shalat Ashar, atau puasa Ramadhan dan puasa yang lain. Juga pembeda antara ibadah dan kebiasaan, misalnya mandi untuk menghilangkan hadats besar atau untuk menyegarkan badan saja.

Niat dalam pengertian pertama ini banyak kita temukan pada kajian-kajian yang dilakukan para ahli fiqih.

b. Niat membedakan beberapa tujuan dalam beramal

Dalam pengertian yang kedua ini, niat itu membedakan, apakah kita beramal untuk Allah semata, ataukah untuk Allah namun juga untuk selain Allah.

Niat dalam pengertian yang kedua ini banyak kita temukan pada kajian-kajian yang dilakukan para ahli tasawuf.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (4): Takdir Perjalanan Hidup Manusia

***

2. Makna Amal

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata perbuatan (a’mal, bentuk jamak dari ‘amal) dalam hadits ini:

a. Amal Ibadah Mahdhah

Pendapat pertama mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan a’mal disini adalah a’mal ibadah mahdhah[6], seperti: shalat, puasa dan haji.

Dengan demikian makna hadits ini adalah: “Sesungguhnya setiap a’mal ibadah mahdhah itu tergantung pada niatnya.” Dengan kata lain, bahwa yang membedakan antara satu ibadah mahdhah dengan ibadah mahdhah yang lain adalah niat. Misalnya, bila seseorang berwudhu lalu shalat dua rakaat, apakah dia sedang shalat sunnah rawatib atau shalat shubuh, yang membedakan hal itu adalah niatnya.

Atau, bahwa ibadah mahdhah itu hanya akan sah bila disertai niat yang benar. Misalnya, bila seseorang yang dalam keadaan junub berjalan-jalan di pinggir kolam kemudian tergelincir lalu jatuh ke dalam kolam, hingga ketika dia naik kembali ke daratan dalam keadaan basah kuyup, dia tetap dalam keadaan berhadats besar. Lain halnya bila orang itu memang sengaja mandi dalam kolam tersebut.

b. Amal Secara Umum

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan a’mal disini adalah semua perbuatan manusia, baik itu ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Maka semua perbuatan yang sebenarnya bersifat mubah berpotensi mendatangkan pahala atau dosa, tergantung pada niatnya. Misalnya tidur siang. Tidur hari dengan niat supaya nanti malam bisa shalat tahajud adalah perbuatan yang mendatangkan pahala. Dan sebaliknya, tidur siang dengan niat supaya nanti malam bisa  bergadang untuk main judi adalah perbuatan yang mendatangkan dosa. Bahkan perbuatan yang sebenarnya ibadah mahdhah juga berpotensi mendatangkan dosa bagi pelakunya. Misalnya orang melaksanakan shalat bukan demi perintah Allah, tapi supaya dilihat oleh orang lain, maka shalat itu mendatangkan dosa baginya.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (5): Larangan Keras Berbuat Bid’ah

***

3. Kriteria Amalan Yang Allah Terima

Kriteria amal yang diterima oleh Allah Swt.:

1. Sesuai tuntunan Rasulullah Saw.

Secara dhahir amal tersebut mesti sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Inilah yang dimaksud dengan sabda beliau, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami yang bukan bagian darinya, maka amal itu tertolak.”

2. Ikhlas untuk Allah Swt.

Amal tersebut semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. (QS. Al-Kahfi: 110):

“Dan  sesungguhnya  setiap  orang  akan memperoleh balasan berdasarkan apa yang dia niatkan.”

Hal itu memberi pengertian bahwa seseorang tidak akan mendapatkan hasil apapun dari perbuatannya, kecuali yang dia niatkan saja. Misalnya seseorang berpuasa dengan tujuan supaya dikatakan sebagai ahli tirakat atau ahli zuhud, maka dia tidak akan memperoleh apa-apa dari puasanya itu selain lapar dan haus. Sabda Rasulullah SAW: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu selain rasa lapar dan haus.”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (6): Menghindari Perkara Syubhat

***

4. Hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya

“Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan ridha) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada (ridha) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin dicapainya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

Setelah menjelaskan bahwa perbuatan itu tergantung pada niatnya dan bahwa setiap  orang  akan memperoleh balasan berdasarkan apa yang dia niatkan, Rasulullah SAW memberikan satu contoh nyata dari kaidah tersebut. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Beliau memberikan contoh dengan menyebutkan sebuah peristiwa besar yang menjadi awal kesuksesan dakwah Islam, yaitu peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari Mekah ke Yatsrib (Madinah), yang dari situ kalender peradaban Islam mulai dihitung.

Beliau menegaskan bahwa barangsiapa yang hijrahnya adalah demi mewujudkan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, demi lebih memperbanyak ilmu dan amalnya dalam ber-Islam, demi menegakkan panji dan syiar Islam yang sebelumnya mustahil untuk ditegakkan dalam masyarakat jahiliyah, maka hijrahnya itu akan dinilai sebagai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan cukuplah niat yang benar ini sebagai awal kesuksesan hidup di kemudian hari, baik di dunia maupun di akhirat.

Namun barangsiapa yang hijrahnya itu karena kepentingan selain itu, misalnya demi kepentingan duniawi yang dalam perhitungan akan diraih melalui hijrah, atau ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya itu hanya akan memperoleh hasil yang dia niatkan itu.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (7): Hakekat Agama Adalah Nasihat

***

5. Asbabul Wurud

Hadits ini ada asbabul wurud-nya, yaitu:

“Ada seorang lelaki meminang seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Namun wanita ini enggan untuk dinikahi, kecuali bila lelaki tersebut bersedia turut hijrah. Maka lelaki itu pun berangkat hijrah dan bisa menikahi wanita tersebut. Lelaki itu kemudian dikenal dengan sebutan Muhajir Ummi Qais (orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Berkaitan dengan asbabul wurud hadits ini, mungkin ada sebuah pertanyaan, “Menikah itu diperintahkan oleh syariat, lalu mengapa hijrah lelaki itu disebut hijrah untuk tujuan duniawi?” Jawabannya adalah: Secara dhahir lelaki itu berangkat untuk berhijrah. Padahal sebenarnya dia berangkat untuk menikahi wanita pujaannya. Oleh karena itu, ketika yang lahir dan yang batin tidak sama, dia pantas untuk dicela. Demikian pula halnya orang yang secara dhahir pergi haji atau menuntut ilmu, namun tujuannya adalah demi meningkatkan status sosial adalah patut dicela.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (8): Haramnya Darah Sesama Muslim

***

6. Tiga Kemungkinan Motivasi Amal

Adapun bila amal tersebut telah disertai niat yang ikhlas, Imam An-Nawawi menjelaskan ada tiga kemungkinan:

a. Amal yang dilakukan karena takut kepada Allah.

Inilah jenis ibadah seorang budak atau hamba sahaya. Karena seorang budak hanya akan bekerja dengan sungguh-sungguh bila mendapatkan ancaman dari majikannya.

b. Amal yang dilakukan karena ingin memperoleh imbalan surga atau pahala.

Inilah ibadahnya seorang pedagang. Karena biasanya seorang pedagang hanya akan melepaskan hak miliknya setelah ada kepasatian bahwa dia akan memperoleh laba.

c. Amal yang dilakukan karena dorongan perasaan malu kepada Allah.

Dia melaksanakan ibadah dengan kesadaran bahwa memang sudah menjadi hak Allah untuk disembah. Dia ingin mewujudkan hakekat penghambaan itu sebagai rasa syukur, sehingga dia selalu merasa tidak pernah mampu membalas karunia Allah dengan amal yang sepadan. Hatinya senantiasa diliputi rasa takut, karena dia tidak pernah tahu apakah amalnya diterima atau tidak.

Nah, inilah ibadah manusia-manusia pilihan. Inilah yang diisyaratkan Rasulullah SAW ketika Aisyah bertanya kepada beliau, yaitu ketika Aisyah melihat Rasulullah melakukan shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak, “Wahai Rasulullah, untuk apa Anda terus-menerus memberatkan diri seperti ini, sementara Allah telah mengampuni dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” Beliau bersabda, “Bila benar demikian, tidakkah sudah selayaknya bila aku menjadi hamba yang paling bersyukur?”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi (9): Larangan Terlalu Banyak Bertanya

***

7. Macam-macam Amal Yang Tidak Ikhlas

Perbuatan untuk selain Allah itu ada beberapa macam:

a. Riya’ Murni

Riya’ murni, dimana pelakunya hanya ingin memperoleh perhatian manusia, sebagaimana perilaku orang-orang munafiq. “Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka malakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia.” (QS. An-Nisa’ 4: 142) “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya’). (QS. Al-Anfal 8: 47).

Riya’ jenis ini tidak mungkin ada dalam diri seorang manusia yang beriman ketika melaksanakan ibadah-ibadah wajib.

b. Niat untuk Allah namun juga diiringi dengan riya’

Banyak keterangan dari Rasulullah SAW yang menjelaskan tidak diterimanya perbuatan jenis ini di sisi Allah SWT. Diantaranya:

– Firman Allah dalam hadits qudsi: “Aku sama sekali tidak membutuhkan sekutu. Maka barangsiapa beramal dengan menyekutukan tujuan kepada selain-Ku, maka Aku tinggalkan orang itu dan sekutunya.” (HR. Muslim).

– Sabda Rasulullah SAW, “Ketika Allah mengumpulkan seluruh manusia dari awal hingga akhir zaman, ada malaikat berseru, “Barangsiapa yang dahulu beramal untuk Allah dan selain Allah, maka hendaklah dia meminta imbalan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sekutu.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan).

– Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang orang yang berperang untuk memperoleh materi dan sanjungan?” Rasulullah SAW bersabda, “Dia tidak memperoleh pahala sedikit pun.” Laki-laki itu mengulang pertanyaannya hingga tiga kali dan Rasulullah SAW tetap menjawab dengan, “Dia tidak memperoleh pahala sedikit pun.” Kemudian beliau menambahkan, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang murni untuk-Nya, dan untuk mengharap ridha-Nya.” (HR. Nasai dengan sanad hasan shahih).

– Berkaitan dengan hal itu As-Samarqandi berkata, “Amal yang dikhususkan bagi Allah itu diterima. Sementara amal ibadah yang ditujukan bagi manusia ditolak. Misalnya orang melaksanakan shalat Dhuhur dengan niat demi menunaikan perintah Allah, namun dia berlama-lama tiap melaksanakan rukun dan  bacaan, memperbagus gerakannya supaya dilihat manusia. Maka shalatnya itu diterima. Adapun yang panjang dan bagus demi manusia tersebut tidak diterima. Sebab dia mengerjakannya adalah demi manusia.”

– Juga ketika Syeikh ‘Izzuddin bin Abdus Salam dimintai fatwa tentang orang yang shalat lalu memanjang-manjangkan rukunnya supaya dilihat manusia, beliau menjawab, “Aku berharap semoga ibadahnya tidak sia-sia secara keseluruhan, walaupun benar shalatnya tidak sepenuhnya untuk Allah. Namun bila riya’ tersebut sampai menembus jantung ibadah, misalnya shalat wajib demi Allah juga demi manusia, maka shalatnya itu tidak diterima. Sebab riya’ telah merasuk ke pangkal amal.”

c. Tidak Beramal Karena Takut Riya’

Sebagaimana riya’ mengotori niat beramal, riya’ pun mengotori niat ketika orang hendak meninggalkan sebuah amal. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Meninggalkan sebuah amal karena manusia dinamakan riya’. Sedangkan beramal demi manusia disebut syirik. Dan ikhlas yaitu bila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Maksud beliau, bahwa barangsiapa telah berniat mengerjakan suatu ibadah lalu meninggalkannya karena khawatir dilihat manusia, maka itu alasan yang dibuat-buat saja. Sebab kenyataannya dia meninggalkan amal itu juga demi manusia. Adapun bila dia tidak jadi melakukannya karena ingin shalat menyendiri, maka itulah yang lebih utama. Kecuali bila amal itu adalah shalat atau zakat wajib, atau karena dia seorang ulama yang menjadi panutan, maka ibadah dengan dilihat orang banyak adalah lebih utama.

d. Tasmi’ atau Sum’ah

Sebagaimana riya’ menyebabkan ibadah menjadi sia-sia, demikian pula tasmi’ atau sum’ah. Tasmi’ atau sum’ah yaitu beramal dengan niat yang ikhlas dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (jauh dari pandangan manusia), tapi kemudian dia ceritakan amal itu pada orang lain. Para ulama memberi catatan, “Namun bila dia adalah seorang ulama yang menjadi panutan, dia menceritakan ibadahnya demi memotivasi para pendengarnya, maka itu tidak mengapa.”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 10: Syarat Diterimanya Amal dan Doa

***

8. Syarat Diterimanya Shalat

Al-Marzubani berkata, “Supaya shalat diterima, kita harus memenuhi empat syarat, yaitu: hadirnya hati, konsentrasinya pikiran, diamnya anggota tubuh, serta khusyuknya seluruh tubuh.

“Dengan demikian orang yang shalat tanpa hadirnya hati, dia adalah orang yang bermain-main dalam shalatnya.

“Orang yang shalat tanpa disertai hadirnya akal, adalah orang yang lalai dalam shalatnya. Orang yang shalat tanpa disertai diamnya anggota tubuh adalah orang yang tidak peduli dengan shalatnya. Dan orang yang shalat tanpa disertai khusyuknya seluruh tubuh adalah orang yang salah shalatnya.

“Oleh karena itu, barangsiapa bisa memenuhi keempat syarat di atas, adalah orang yang sempurna shalatnya.”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 11: Tinggalkan Perkara Yang Meragukan

***

9. Hukum Melafalkan Niat

Apakah niat harus dilafadhkan? Niat ada dalam hati, karena itu tidak ada kewajiban untuk melafadhkan niat itu dalam semua ibadah. Hanya ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa melafadhkan niat untuk shalat itu hukumnya mustahab atau sunnah. Sebagian yang lain berpendapat hal itu makruh. Dan kami tidak memperoleh penjelasan tentang hal ini dari para salafus-shalih, termasuk dari para imam madzhab, kecuali niat untuk berhaji. Dimana ada yang berpendapat bahwa melafadhkan niat untuk haji itu mustahab, misalnya: “Allahumma inni uridul-hajja wal-‘umrah, ya Allah sesungguhnya aku berniat haji dan umrah.”

Ibnu Umar mendengar ada orang melafadhkan niat ketika orang itu memulai ihram, “Allahumma inni uridul-hajja wal-‘urah.” Maka Ibnu Umar memberikan komentar padanya, “Apakah engkau ingin memberitahu orang lain? Kalau bukan supaya didengar orang lain (yaitu supaya didengar Allah) bukankah Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hatimu?”

Abu Daud bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, “Apakah ada lafadh yang engkau ucapkan sebelum takbiratul ihram?” Ahmad menjawab, “Tidak.”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 12: Meninggalkan Yang Tidak Bermanfaat

***

10. Pahala Sesuai Niat Meskipun Target Tidak Tercapai

Pada masa Rasulullah SAW ada seorang laki-laki yang memberikan sedekah kepada seseorang. Lalu datang anak laki-laki itu dan mengambil kembali harta sedekah itu.

Ketika sang ayah mengetahui hal itu dia melaporkannya pada Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku tidak berniat sedekah untukmu.” Rasulullah Saw. bersabda kepada sang ayah, “Engkau memperoleh pahala sesuai dengan niatmu.” Lalu beliau bersabda kepada sang anak, “Engkau berhak atas apa yang kamu ambil itu.”

(HR. Bukhari).

Berdasarkan hadits ini, apabila seseorang memberikan sedekah pada orang lain yang disangkanya miskin padahal kaya, maka dia tetap memperoleh pahala. Sebab dia telah memberikannya kepada orang yang diyakininya sebagai orang yang miskin, sementara sifat miskin itu termasuk hal yang sulit untuk diketahui.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 13: Di Antara Tanda Kesempurnaan Iman

***

11. Pesan para salafus-shalih berkaitan dengan niat

Berikut ini pesan para salafus-shalih yang berkenaan dengan niat:

  1. Yahya bin Abi Katsir berpesan, “Belajarlah berniat dengan benar, karena hal itu lebih penting daripada beramal.”
  2. Dawud Ath-Thai berkata, “Aku perhatikan bahwa ternyata seluruh kebaikan itu bermula dari niat yang benar. Dan cukuplah (niat yang benar) itu sebagai kebajikanmu, meskipun engkau belum sempat mengerjakannya.”
  3. Dawud menambahkan, “Al-birru (berbakti) yaitu keinginan yang kuat untuk bertakwa. Meskipun seluruh anggota tubuh seseorang melekat erat pada sifat cinta dunia, suatu hari nanti niatnya akan mengembalikan dirinya pada jalan yang benar.”
  4. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Aku tidak menemui kesulitan mengendalikan diri melebihi niat, karena niat itu amat mudah berubah.”
  5. Seseorang berkata kepada Nafi’ bin Habib, “Tidakkah engkau turut melawat jenazah si Fulan?” Nafi’ menjawab, “Baiklah, tapi biarkan aku berniat dulu.” Nafi’ berpikir sebentar kemudian berkata, “Pergilah (sendiri)!”
  6. Ibnul Mubarak berkata, “Amal yang sepele bisa menjadi besar karena niat. Dan amal yang besar bisa menjadi sepele juga karena niat.”
  7. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. hanya menghendaki dari dirimu niat dan tujuan.”

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 14: Kapankah Darah Seorang Muslim Halal

**

12. Lain-lain

– Yatsrib adalah nama asal, yang setelah Rasulullah Saw. hijrah ke sana beliau mengganti nama itu dengan Madinah.

– Sebelum hijrah dari Mekah ke Madinah ini, Rasulullah Saw. pernah memerintahkan para sahabat berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Namun waktu itu yang diperintahkan berhijrah terbatas kepada para sahabat yang tidak punya pelindung dari teror dan intimidasi orang-orang kafir, yang karena dahsyatnya teror dan intimidasi itu dikhawatirkan akan mengancam keselamatan agama dan jiwa mereka. Sementara pada hijrah kali ini, beliau memerintahkan semua sahabat untuk berangkat, kecuali beberapa orang untuk keperluan tertentu.

– Asbabul wurud yaitu peristiwa yang mendahului datangnya sebuah hadits. Mirip halnya dengan asbabun nuzul, yaitu peristiwa yang mendahului turunnya sebuah atau beberapa ayat Al-Quran. Asbabul wurud sebuah hadits bisa kita dapatkan bila kita merujuk kepada sumber asli hadits yang bersangkutan, misalnya: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Daud.

Baca Juga:

Hadits Arbain Nawawi 15: Muliakanlah Tetangga dan Tamu

***

Penutup

Demikianlah beberapa catatan dan keterangan yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga ada manfaatnya bagi kita bersama.

Allahu a’lam.

___________________

Bacaan Utama:

Kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam. Imam Ibnu Rajab al-Hambali.

kitab-jami'-ulum-wal-hikam

Untuk menyimak hadits arbain yang lain, silakan klik link berikut ini:

42 Hadits Arbain Nawawiyah

Tags:

4 thoughts on “Hadits Arbain Nawawi (1): Niat Menentukan Amal Perbuatan

Tinggalkan Balasan ke Kaidah Fiqih 1: Semua Urusan Tergantung Niat dan TujuanBatalkan balasan

Your email address will not be published.