SHOPPING CART

close

HADITS DHA’IF: Pengertian, Contoh dan Kedudukan

الْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ

al-Hadits adh-Dha’if

 

Tidak jarang dalam sebuah buku atau artikel kita menemukan keterangan, “Hadits ini merupakan hadits dha’if.” Yang hampir selalu berkonotasi negatif. Lalu apa definisi hadits dha’if itu, dan apakah benar selalu bermakna negatif?

Pengertian Hadits Dha’if

Dha’if itu secara bahasa artinya: lemah, tidak kuat.

Berikut definisi hadits dha’if yang dirumuskan oleh para ulama:

الحديث الضعيف: هو الحديث الذي لم تجتمع فيه صفات الحديث الصحيح من عدالة الرواة، وتمام الضبط، واتصال السند، وسلامته من الشذوذ ومن العلة القادحة، ولم تجتمع فيه أيضاً صفات الحديث الحسن وهي كصفات الحديث الصحيح، إلاّ أنّ ضبط الرواة أو أحدهم أخفّ من ضبط الحديث الصحيح

Secara istilah, hadits dha’if adalah: hadits yang kehilangan satu atau lebih dari persyaratan hadits shahih.

Seperti kita maklumi bersama, bahwa sebuah hadits shahih itu harus memenuhi lima syarat, yaitu:

  1. Sanadnya bersambung
  2. Seluruh perawinya bersifat adil
  3. Seluruh perawinya bersifat dhabith
  4. Matannya tidak mengandung syadz
  5. Sanad dan matannya tidak mengandung ‘illah.

Maka bila sebuah hadits tidak memenuhi salah satu dari lima syarat di atas, maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits dha’if. Artinya tidak memenuhi syarat sebagai hadits shahih.

Jadi hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa hadits dha’if itu merupakan lawan dari hadits shahih.

Dan sedikit tambahan, bahwa ada perbedaan utama antara hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu pada sifat dhabith perawi.

Hadits shahih itu semua perawinya harus benar-benar dhabith. Adapun hadits hasan, ada seorang perawi yang kurang dhabith.

***

Hadits Dha’if Tidak Sama dengan Hadits Palsu

Perlu kita pahami bersama, bahwa hadits dha’if itu tidak sama dengan hadits palsu. Memang sekilas sama, namun sebenarnya tidak sama.

Palsu itu artinya tidak asli. Seperti ijazah palsu, pohon palsu, atau juga istri palsu. Maknanya itu penipuan yang dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Adapun hadits dha’if itu seperti seorang siswa yang nilainya tidak memenuhi standar minimal untuk lulus. Misalnya untuk lulus dia harus memperoleh nilai minimal 6 (enam) untuk lima mata pelajaran utama. Ternyata nilainya ada angka 5 (lima) untuk salah satu mata pelajaran utama tersebut. Sehingga nilainya tidak memenuhi syarat untuk lulus.

Boleh jadi siswa tersebut membuat atau dibuatkan ijazah palsu supaya bisa diterima kerja di suatu tempat atau perusahaan.

Namun boleh jadi, siswa tersebut mengulang pelajaran sekolah, sehingga dia lulus dan memperoleh ijazah asli. Dan yang seperti ini juga bisa terjadi dalam bidang hadits.

Sehingga ada istilah: “hadits shahih lighairihi.”

Artinya: sebenarnya hadits itu tidak shahih. Tapi dianggap shahih karena ada hadits shahih lain yang matan atau isinya berdekatan. Atau karena sebab-sebab yang lain.

Demikian pula ada istilah: “hadits hasan lighairihi.”

***

Hakekat Hadits Dha’if

Meskipun dha’if, sebuah hadits dha’if itu tetap sebuah hadits. Artinya hadits itu memiliki nilai yang harus kita hormati. Karena sesungguhnya metode yang kita gunakan seperti disebutkan di atas itu hanyalah sebuah usaha yang bersifat manusiawi. Artinya bisa salah bisa benar.

Jadi mohon untuk kita sadari, bahwa metode yang digunakan oleh para ulama untuk mengukur validitas informasi itu adalah buatan manusia yang selalu berkembang dan bisa menerima koreksi dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, adakalanya sebuah hadits dinyatakan sebagai hadits dha’if oleh seorang ulama, namun dianggap shahih oleh ulama yang lain. Padahal kedua ulama itu sama-sama mumpuni, bukan orang yang baru belajar hadits.

Bahkan tidak jarang, seorang ulama mengoreksi pendapatnya sendiri. Di salah satu bukunya dia bilang hadits ini dha’if, kemudian kita temukan di bukunya yang lain dia bilang hadits ini shahih. Padahal haditsnya sama. Seperti yang dilakukan oleh Syeikh Nashiruddin al-Albani, sebagai contoh. Namun hal ini tidak mengurangi kemuliaan beliau sebagai seorang ulama hadits yang cukup disegani di seluruh muka bumi.

Maka di sinilah sebenarnya ilmu hadits itu bersifat dinamis bahkan berkembang.

Bagi orang awam, hal ini mungkin membingungkan. Namanya juga orang awam, yang ilmunya setengah-setengah dan serba nanggung. Namun bagi para ulama hadits, justru di sinilah mereka bisa menemukan kenikmatan dan keasyikan dalam interaksi dengan ilmu-ilmu hadits.

***

Kedudukan Hadits Dha’if

Memperhatikan hakekat hadits dha’if sebagaimana kami paparkan di atas, para ulama hadits pun berbeda pendapat tentang bagaimana mendudukkan hadits dha’if ini. Sehingga dalam ini ada tiga pendapat:

Pendapat pertama

Mereka tidak mau menerima hadits dha’if sama sekali. Bila sebuah hadits sudah dinilai dha’if, maka hadits itu tidak bisa digunakan untuk keperluan apapun. Dianggap tidak ada.

Pendapat kedua

Mereka menggunakan hadits dha’if hanya untuk keperluan motivasi amal saja. Atau istilahnya targhib dan tarhib.

Targhib itu motivasi untuk melakukan suatu amal kebajikan, yang biasanya menerangkan besaran pahala.

Tarhib itu motivasi untuk meninggalkan amal keburukan, yang biasanya menerangkan besaran dosa.

Pendapat ketiga

Mereka menggunakan hadits dha’if ketika tidak ada hadits yang shahih. Dengan semboyan: “Hadits dha’if itu lebih aku sukai daripada hasil pemikiran semata.”

Mereka semua adalah ulama hadits sungguhan. Yang ilmu dan ketakwaannya diakui oleh para ulama yang lain. Bahkan antarpendapat itu mereka juga saling menghormati dan menghargai pendapat yang berseberangan.

Memang demikianlah seharusnya sikap ulama yang benar. Tetap mampu saling menghormati, meskipun berbeda pendapat.

Tapi biasanya justru orang awam yang mudah menyalahkan pendapat orang lain. Maklum karena ya itu tadi, ilmu yang masih setengah-setengah. Alias nanggung, sehingga mengira bahwa pendapat yang berbeda pasti salah dan tidak punya dasar argumentasi. Padahal sikap seperti inilah yang sebenarnya salah, dan tidak sesuai dengan contoh sikap toleran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw.

***

Demikianlah sedikit penjelasan mengenai hadits dha’if dan kedudukannya dalam khazanah keilmuan Islam.

Semoga ada manfaatnya.

_____________________

Bacaan utama:

Kitab Mabahits fi Ulumil HaditsSyeikh Manna’ al-Qatthanrahimatullah.

Artikel al-Hadits adh-Dha’if Rwayatuh wa Hukmul ‘amal bih, Dr. Badr ‘Abdul Hamid Hamisah. saaid.net

Artikel Ta’rif al-Hadits adh-Dha’if, mawdoo3.com.

Tags:

7 thoughts on “HADITS DHA’IF: Pengertian, Contoh dan Kedudukan

Tinggalkan Balasan ke Arbain Nawawiyah 41: Totalitas Taat kepada Rasulullah Saw.Batalkan balasan

Your email address will not be published.