SHOPPING CART

close

Prinsip Ekonomi Kebahagiaan, Modal Minim Hasil Maksim

Waktu masih SMP dulu pada pelajaran ekonomi, kita semua memperoleh doktrin, bahwa prinsip ekonomi materialis itu adalah:

Bagaimana caranya, dengan modal yang sesedikit mungkin, kita mampu meraih laba yang sebesar-besarnya.

Tidak ada pertimbangan halal-haram. Tidak ada pula rambu-rambu moral dan etika. Yang terpenting adalah tercapainya tujuan utama: kemakmuran yang melimpah-ruah.

Tiba-tiba saja saya ingin mengintip gaya hidup orang-orang kaya. Orang yang benar-benar kaya menurut ukuran materi. Tempat tinggal, biaya hidup sehari-hari, hiburan, tempat belanja, dan seterusnya. Cukup lewat Youtube.

Timbul pertanyaan mendasar, apakah mereka bahagia?

Yah bahagia memang relatif. Namun seiring dengan bertambahnya usia, kita pun semakin arif akan hakikat kebahagiaan itu.

Yah, mungkin saja pertanyaan ini muncul karena kita sendiri tidak mampu membayangkan bahwa kitalah yang menjadi salah satu orang terkaya, baik tingkat negara maupun dunia. Kemudian cari-cari alasan dan pembenaran, bagaimana menghibur diri sendiri dan orang-orang miskin yang senasib.

Sesuai pengalaman pribadi saya bisa membandingkan, bahwa belum tentu kekayaan finansial dan material itu benar-benar mampu meningkatkan kebahagiaan batin. Hal itu sudah saya buktikan sendiri pada usia yang mulai susah untuk dibilang muda ini. Maka apa yang saya ceritakan ini adalah sekedar keinginan berbagi, dan tidak lebih.

***

Rumah Tinggal

Saya punya rumah tinggal itu baru delapan tahun yang lalu. Sebelumnya ngontrak dengan berpindah-pindah juga selama delapan tahun.

Jadi bila diukur dari segi tempat tinggal, salah satu kebutuhan primer orang hidup, saya pernah sangat miskin. Benar-benar miskin secara materi. Hingga kemudian Allah Swt. memberikan kesempatan untuk tercukupi dengan baik. Maka saya sudah bisa membuat perbandingan antara satu tingkat ketercukupan dengan tingkatan berikutnya.

Memang benar, bahwa secara materi ada peningkatan yang amat signifikan. Dari ngontrak, hingga akhirnya memiliki rumah sendiri. Namun ternyata bukan ini penentu kebahagiaan.

Tidak jarang saya merasakan ngontrak itu lebih nikmat daripada punya rumah sendiri. Ada kenikmatan luar biasa saya rasakan pada saat membayarkan biaya kontrak rumah pada pemiliknya.  Di mana kenikmatan semacam ini susah saya dapatkan kembali.

Silakan baca pula:

Tips Jitu Menambah Penghasilan Buat Keluarga

***

Kendaraan

Setelah menikah, selain belum punya rumah tinggal sendiri, saya juga belum punya kendaraan pribadi sama sekali, baik sepeda motor maupun sekedar sepeda angin. Ke mana-mana saya dan istri naik kendaraan umum, atau terpaksa berjalan kaki, meskipun jarak tempuh lumayan jauh. Bukan untuk olah raga, tapi untuk berhemat sebaik mungkin.

Alhamdulillah, kebutuhan akan kendaraan tersebut telah dicukupi. Maka saya pun bisa membandingkan bagaimana rasanya punya kendaraan pribadi, setelah sebelumnya tidak punya sama sekali.

Bahwa ternyata sekarang saya lebih menikmati jalan kaki daripada berkendara. Dan hampir selalu saya menghindari roda empat, karena sepeda motor itu jauh lebih gesit dan praktis. Anak-anak saya pun selalu menyambut lebih gembira tawaran jalan-jalan naik sepeda motor daripada mobil.

Apalagi menyangkut biaya perawatan dan pajak kendaraan.

Dan sungguh, bila tidak terlanjur sebenarnya saya memilih tidak punya kendaraan roda empat. Atau biarlah mobil yang lama saja, biar pun tidak ada AC, tapi jauh lebih ringan biaya perawatan dan pajaknya. Atau seperti yang tadi, lebih praktis tidak punya mobil saja. Kalau perlu sekali waktu, ya naik taksi atau sewa saja.

Dengan demikian, ternyata punya mobil impian bukan jaminan kebahagiaan. Dan saya sudah membuktikan sendiri.

Sama Nida Sepeda Motor Pertama
Bersama anak pertama (sekarang sudah kelas 2 SMP), di rumah kontrakan ketiga yang sederhana.

***

Investasi

Selain tempat tinggal dan kendaraan, ada satu batasan lagi yang membedakan antara kecukupan dan kekurangan secara materi, yaitu investasi. Malah bisa dikatakan, investasi merupakan simbol kekayaan yang sebenarnya.

Untuk yang satu ini, justru saya tidak berani bicara banyak. Saya paling takut dibilang sombong. Atau justru sebaliknya, khawatir ada yang komentar: Halah, baru segitu saja sudah sombong… Nah, kan malah terbalik-balik…

Diva bawa piala
Piala terbaik adalah kebahagiaan hidup yang selalu bersama kita. Meniko anak saya yang kedua, kelas 5 SD.

***

Pengalaman Orang Lain

Dulu sekali…

Ada seorang kawan dekat yang duluan bangun rumah. Rumahnya tingkat tiga. Saya tanya, “Bagaimana rasanya sudah punya rumah sendiri? Sudah tenang ya?”

Saya hanya ingin tahu, sekalian membandingkan hidup saya yang sedikit gelisah karena belum juga punya tempat tinggal milik sendiri setelah bertahun-tahun menikah. Ternyata jawabannya sungguh membuat saya terkejut sekaligus tertegun:

“Hidup hanya tenang kalau hati kita tenang, Ustadz. Dan hati hanya bisa tenang dengan mengingat asma Allah. Berdzikir.” Subhanallah…

Yah itu dulu sekali. Sudah sangat sangat lama. Dan saya pun masih merasakan kebenarannya. Setelah semua yang saya dahulu impikan, sekarang terwujud, dan menjadi kenyataan.

Gaza berendam
Kesempatan adalah waktu terbaik menyiasati hidup. Nah, mumpung masih bersih, buat berendam dulu. Itu si kecil anak saya yang ketiga, kelas TK-B.

***

Prinsip Ekonomi Kebahagiaan

Berkebalikan dengan prinsip ekonomi materialis di atas, kiranya saya bisa merumuskan prinsip ekonomi kebahagiaan itu kurang lebih sebagai berikut:

“Dengan kondisi ekonomi yang seminim mungkin, kita mampu meraih kebahagiaan yang sebesar-besarnya.”

Rumah masih ngontrak, namun hidup tidak kalah bahagia dengan orang yang punya rumah pribadi yang super mewah. Ke mana-mana jalan kaki, namun hati lebih nyaman daripada orang yang naik mobil super lux.

Atau bila memang Allah sudah memberikan kelapangan rezeki, kita tetap pandai bersyukur.

Bahwa ternyata, sikap sabar atas segala kekurangan itu tidak kalah nikmatnya daripada sikap syukur atas segala karunia yang telah diberikan-Nya.

Semoga dapat kita capai dan rasakan. Amin amin amin…

Dan, marilah kita jalani hidup ini dengan lebih semangat…

Tags:

One thought on “Prinsip Ekonomi Kebahagiaan, Modal Minim Hasil Maksim

Tinggalkan Balasan ke Bahagia Itu Fatamorga: Adakah Bahagia Yang Sejati?Batalkan balasan

Your email address will not be published.