SHOPPING CART

close

Hukum Sesekali Menjamak Shalat Tanpa Udzur

Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan. Bahwa Nabi Muhammad saw. menjama’ shalat. Padahal beliau tidak sedang safar maupun udzur yang lain.

Menjamak shalat bukan karena perang maupun hujan

:عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

رواه مسلم

Dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

“Rasulullah saw. menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya’ di Madinah tanpa udzur perang (shalat khauf) ataupun hujan.”

(HR. Muslim)

Baca Juga:

Di antara Ciri Utama Orang Munafik: Shalat Tapi Malas

**

Alasan kemudahan

Dalam riwayat yang lain,  hadits itu berlanjut:

قَالَ : قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟

قَالَ : كَىْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

وَفِى حَدِيثِ أَبِى مُعَاوِيَةَ قِيلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ ؟

قَالَ : أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ 

رواه مسلم

Lalu Sa’id bin Jabir melanjutkan: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Mengapa beliau melakukan itu?’ Ibnu ‘Abbas menjawab, ‘Yang demikian itu supaya tidak membuat umatnya menjadi susah.'”

(HR. Muslim)

Baca Juga:

Waktu Shalat Isya’ Itu Lebih Utama Ditunda Sebentar

**

Menjamak shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ sekaligus

Senada dengan riwayat di atas, Imam Muslim juga meriwayatkan hadits berikut ini:

:عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ

خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَبَدَتِ النُّجُومُ ، وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ : الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ

قَالَ : فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى تَمِيمٍ لاَ يَفْتُرُ وَلاَ يَنْثَنِى : الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : أَتُعَلِّمُنِى بِالسُّنَّةِ لاَ أُمَّ لَكَ ؟

ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ : فَحَاكَ فِى صَدْرِى مِنْ ذَلِكَ شَىْءٌ ، فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ 

رواه مسلم

Dari ‘Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: “Suatu hari setelah shalat Ashar, Ibnu ‘Abbas berkhutbah di hadapan kami hingga matahari tenggelam dan nampaklah bintang-bintang. Oleh karena itu orang-orang pun berseru, ‘Shalat… Shalat…’ Lalu seseorang dari Bani Tamim mendatangi Ibnu ‘Abbas terus-menerus dan tanpa henti mengulang perkataan, ‘Shalat… Shalat…’

Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Apa kamu hendak mengajariku tentang Sunnah Nabi? Celakalah kamu.’

Lalu Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw. menjama’ shalat Dhuhur, shalat Ashar, shalat Maghrib dan shalat Isya’.'”

‘Abdullah bin Syaqiq melanjutkan: “Hal itu menyisakan tanda tanya dalam diriku. Oleh karena itu aku mendatangi Abu Hurairah dan menanyakan hal itu kepadanya. Ternyata Abu Hurairah membenarkan hal itu.”

(HR. Muslim)

Baca Juga:

Inilah Pembagian Beberapa Waktu Shalat Isya’ Sesuai Sunnah

**

Alasan Rasulullah Saw. Menjamak Shalat

Menyikapi hadits-hadits di atas, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Secara ringkas terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:

a. Alasan hujan

Pendapat pertama, ada kemungkinan bahwa beliau melakukan itu karena alasan hujan. Seperti kita ketahui, apabila kita sedang shalat Dhuhur atau Maghrib di masjid, lalu turun hujan, maka hal ini bisa menjadi alasan untuk menjama’ shalat.

Namun pendapat ini jelas bertentangan dengan teks hadits-hadits di atas yang menyebutkan, bahwa Rasulullah saw. menjama’ shalat itu bukan karena udzur hujan.

b. Alasan perang dan safar

Pendapat kedua, beliau menjama’ shalat itu karena udzur perang (shalat khauf) atau safar.

Namun pendapat ini juga jelas bertentangan dengan teks hadits-hadits di atas yang menyebutkan, bahwa Rasulullah saw. menjama’ shalat itu bukan karena perang maupun safar.

c. Alasan mendung

Pendapat ketiga, ada kemungkinan bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat Dhuhur di waktu mendung. Ketika baru selesai shalat Dhuhur, cuaca berubah terang, dan baru diketahui ternyata telah masuk waktu Ashar. Maka beliau pun langsung melaksanakan shalat Ashar, sehingga nampak beliau menjamak shalat, padahal bukan.

Pendapat ini cukup masuk akal untuk diterapkan bagi shalat Dhuhur dan Ashar, namun tidak bisa diterapkan bagi shalat Maghrib dan Isya’.

d. Hadits ghairu ma’mul bih

Pendapat keempat, bahwa hadits ini termasuk hadits yang ghairu ma’mul bih. Ghairu ma’mul bih artinya tidak bisa atau tidak boleh dilaksanakan. Menurut pendapat ini, hadits-hadits di atas bertentangan dengan hadits yang berbunyi:

مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ

“Barangsiapa menjama’ dua shalat tanpa udzur, maka dia telah melakukan perbuatan dosa besar.”

(HR. Tirmidzi)

Tapi hadits riwayat Tirmidzi ini, seperti disebutkan Tirmidzi sendiri, termasuk hadits yang dha’if, karena terdapat seorang perawi yang lemah dalam sanad hadits ini yang bernama Hanasy.

e. Alasan sakit atau yang semisal

Pendapat kelima, bahwa ada kemungkinan Rasulullah saw. melakukan hal ini karena udzur sakit atau yang semisal.

Namun pendapat ini tidak kuat, karena bila benar Rasulullah saw. menjama’ shalat tersebut karena sedang sakit, tentu para shahabat tidak akan shalat bersama beliau, kecuali bila mereka juga sedang sakit. Sementara secara jelas hadits ini menyebutkan bahwa beliau shalat bersama sejumlah shahabat, dan tidak ada keterangan bahwa mereka juga sedang sakit, sehingga diperbolehkan menjama’ shalat.

f. Seakan-akan menjama’

Pendapat keenam, bahwa ada kemungkinan Rasulullah saw. seakan-akan menjama’ kedua shalat itu, padahal sebenarnya tidak. Hal ini terjadi, ketika beliau melaksanakan shalat Dhuhur di akhir waktunya, dan langsung melaksanakan shalat Ashar di awal waktu. Demikian pula halnya shalat Maghrib dan shalat Isya’. Dengan demikian seakan-akan beliau melaksanakan kedua shalat itu secara jama’, padahal tidak.

Namun pendapat ini bertentangan dengan sebab diriwayatkannya hadits-hadits di atas. Seperti disebutkan dalam hadits-hadits di atas, Ibnu ‘Abbas mengakhirkan shalat Maghrib hingga matahari tenggelam dan bintang-bintang mulai nampak, sehingga orang-orang berseru untuk segera shalat, karena waktu Maghrib sudah berakhir. Kemudian Ibnu ‘Abbas menggunakan hadits-hadits di atas untuk menjelaskan diperbolehkannya menjama’ shalat pada waktu itu. Ketika hal ini ditanyakan kepada Abu Hurairah (shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits), ia membenarkannya.

g. Ketika ada keperluan

Pendapat ketujuh, menjama’ shalat itu diperbolehkan ketika ada keperluan. Seperti karena sedang sibuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Tapi menjama’ ini tidak boleh menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus.

Alasan adanya keperluan ini ditegaskan oleh pernyataan Ibnu ‘Abbas dalam hadits-hadits di atas, bahwa Rasulullah saw. melakukan hal ini karena beliau tidak ingin memberatkan umatnya. Dengan demikian, bagi orang yang memang sedang berkepentingan, maka baginya diperbolehkan menjama’ shalat Dhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya’. Namun demikian, hendaknya hal ini tidak menjadi kebiasaan sehari-hari. Boleh dilakukan, tapi sekali-sekali saja.

Allahu a’lam bish-shawab.

______________

Sumber:

Buku Rahasia 7 Waktu Shalat

rahasia-7-waktu-shalat

Jam’us Shalati bighairi ‘udzr.

Tags:

2 thoughts on “Hukum Sesekali Menjamak Shalat Tanpa Udzur

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.