SHOPPING CART

close

HADITS AHAD: Pengertian, Contoh, Macam dan Kedudukannya

حَدِيْثُ الآحَادِ

Hadiits al-Aahaad

_____

Dalam Ulumul Hadits maupun Musthalah Hadits, kita pasti akan bertemu dengan istilah Hadits Ahad. Hal ini menunjukkan urgensi istilah ini.

Oleh karena itu, kita wajib mengenal istilah Hadits Ahad ini dengan baik.

Sebagaimana kita pahami, bahwa menurut kuantitas sanadnya, hadits itu dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.

Secara umum, Hadits Mutawatir itu lebih istimewa dibandingkan Hadits Ahad. Namun secara praktis, Hadits Ahad itu memiliki peranan yang lebih utama daripada Hadits Mutawatir. Karena mayoritas hadits itu berbentuk Hadits Ahad. Sedangkan jumlah Hadits Mutawatir itu tidak begitu banyak.

Hadits Ahad di sini bukan maksudnya diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam tiap tingkatannya. Namun memiliki arti yang khusus.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas beberapa hal mengenai Hadits Ahad. Mulai dari pengertian, contoh, kedudukan hingga macam-macamnya. Semoga Allah Swt. memberikan kemudahan…

Baca juga:  Hadits Mutawatir: Pengertian, Contoh dan Macam-macamnya

***

A. Pengertian Hadits Ahad

Berikut ini kami sampaikan pengertian Hadits Ahad secara bahasa, secara istilah dan beberapa nama lain dari Hadits Ahad.

1. Pengertian Hadits Ahad Secara Bahasa

Secara bahasa, Ahad di sini merupakan bentuk jamak dari ahad. Mungkin Pembaca agak bingung dengan kalimat ini. Baiklah akan kami jelaskan sebagai berikut:

Ahad di sini seharusnya ditulis dengan Aahaad:

آحاد

Bukan Ahad:

أحد

Nah, ahad itu merupakan bentuk tunggal. Adapun aahaad merupakan bentuk jamak.

2. Pengertian Hadits Ahad Secara Istilah

Adapun secara istilah, para ulama mendefinisikan Hadits Ahad sebagai berikut:

حديثُ الآحاد: هو الحديث الذي لم يَصل إلى حدّ التواتر

“Hadits Ahad yaitu: hadits yang tidak mencapai derajat Hadits Mutawatir.”

Atau dengan definisi lain bisa dirumuskan:

حديثُ الآحاد: هو الحديث الذي ليس فيه شروط الحديث المتواتر

“Hadits Ahad yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat sebagai Hadits Mutawatir.”

Berdasarkan defini di atas, maka bisa dikatakan bahwa Hadits Ahad itu bisa dibilang merupakan lawan dari Hadits Mutawatir.

3. Nama Lain Hadits Ahad

Hadits Ahad juga memiliki beberapa nama lain. Yang kadang-kadang juga dipakai oleh para ulama dalam kitab-kitab turats. Yaitu:

– Khabar Ahad

– Akhbar Ahad

– Khabar Wahid

***

B. Contoh Hadits Ahad

Berikut ini saya kutipkan sebuah hadits yang diriwayatkan dan saya kutip dari Kitab Shahih Muslim:

1. Contoh Teks Hadits Ahad

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ، قَالَا

Telah menyampaikan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Bassyar, dia berkata:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ

Telah menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ja’far:

حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ

Telah menyampaikan kepada kami Syu’bah, di berkata:

سَمِعْتُ قَتَادَةَ، يُحَدِّثُ

Saya mendengar Qatadah menyampaikan sebuah hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ

Dari Anad bin Malik, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Rasulullah Saw. bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman, sehingga aku menjadi orang yang paling dia cintai, daripada anaknya, orangtuanya, dan seluruh umat manusia.

(HR. Muslim)

2. Penjelasan

Hadits di atas merupakan contoh hadits Ahad. Karena menurut keterangan para ulama hadits:

– Pada tingkatan shahabat, selain Anas bin Malik, hadits itu juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

– Pada tingkatan tabi’in, selain Qatadah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Abdul Aziz bin Shuhaib.

– Di tingkatan tabi’ut tabi’in, selain Syu’bah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Sa’id.

– Pada tingkatan selanjutnya, selain Muhammad bin Ja’far, hadits itu juga diriwayatkan oleh perawi yang lain,

– Demikian pula pada tingkatan Muhammad bin Mutsanna. Juga ada perawi lain yang meriyatkannya dari Muhammad bin Ja’far.

Kesimpulan dari pembahasan sanad hadits di atas, para ulama menyatakan bahwa hadits itu termasuk Hadits Ahad, dan secara lebih khusus termasuk Hadits Aziz.

Baca juga:  Hadits Aziz: Pengertian, Contoh dan Penjelasannya

***

C. Macam-macam Hadits Ahad

Terdapat tiga macam Hadits Ahad, yaitu: Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib. Berikut ini sekilas definisi dan contohnya:

1. Hadits Masyhur

Secara bahasa, masyhur artinya: terkenal, populer.

Secara istilah, hadits masyhur adalah:

ما رواه أكثر من اثنين يعني ثلاثة فأكثر ما لم يبلغ حد التواتر

“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatannya, namun tidak sampai pada derajat hadits mutawatir.”

Berikut ini contoh hadits masyhur:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dari para hamba-hamba-Nya begitu saja. Namun Allah mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga tidak ada lagi seorang ulama pun yang masih hidup. Lalu umat manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan. Orang-orang bodoh itu pun menjadi rujukan. Mareka menjawab pertanyaan tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Selengkapnya:  Hadits Masyhur: Pengertian, Contoh dan Penjelasannya

**

2. Hadits Aziz

Secara bahasa, aziz artinya:

  • sedikit atau jarang (qalla wa nadara)
  • kuat (‘azza – ya’uzzu)

Secara istilah, hadits aziz adalah:

ما لا يقل رُواته عن اثنين في جميع طبقات السند

“Hadits yang diriwayatkan setidaknya oleh dua orang perawi pada tiap tingkatan sanadnya.”

Berikut ini contoh hadits aziz:

عَنْ أَنَس رضي الله عنه قال: قال النَّبِيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِه وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Muhammad Saw. bersabda,

“Tidaklah seorang di antara kalian beriman, sehingga aku menjadi orang yang paling dia cintai. Dibandingkan ayahnya, anaknya, dan seluruh umat manusia.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Selengkapnya:  Hadits Aziz: Pengertian, Contoh dan Penjelasannya

**

3. Hadits Gharib

Secara bahasa, gharib artinya: aneh, unik, lain daripada yang lain. Nyeleneh.

“Kamu ini gharib banget, deh.”

Artinya, aneh. Bisa secara penampilan fisik maupun perilaku.

Secara istilah, para ulama mendefinisikan Hadits Gharib sebagai berikut:

مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ

“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja.”

Maksudnya:

Periwayatan oleh seorang perawi itu bisa saja terjadi hanya pada satu tingkatan perawi ataupun lebih. Atau bahkan pada setiap tingkatan.

Berikut ini contoh Hadits Gharib:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Setiap amal tergantung pada niat. Setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan. Barangsiapa hijrah untuk keuntungan dunia atau untuk menikahi seorang wanita, maka hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.”

Itulah contoh hadits gharib. Pada tingkatan shahabat, hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat, yaitu Umar bin Khatthab. Meskipun mungkin setelah itu diriwayatkan oleh beberapa tabi’in.

Selengkapnya:  Hadits Gharib: Pengertian, Contoh dan Macam-macamnya

***

D. Kedudukan Hadits Ahad Secara Umum

Para ulama sepakat, bahwa:

– Khabar yang dibawakan oleh seorang yang ma’shum (yaitu seorang nabi) itu bersifat qath’i tsubut.

– Bila umat Islam sepakat untuk menerima sebuah Hadits Ahad, maka hadits itu bersifat qath’i tsubut.

– Bila umat Islam sepakat untuk mengamalkan sebuah Hadits Ahad, maka hadits itu bersifat qath’i tsubut.

– Hadits Ahad yang dibawakan oleh seorang yang tidak “adil” itu termasuk hadits zhanni tsubut.

Namun setelah itu para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Hadits Ahad dalam bidang aqidah.

Akar perbedaan pendapat para ulama itu karena perbedaan pandangan mengenai Hadits Ahad:

“Apakah Hadits Ahad itu bersifat qath’i tsubut secara mutlak, zhanni tsubut secara mutlak, ataukah qath’i tsubut apabila disertai qarinah.”

Ada tiga pendapat. Berikut ini penjelasannya secara ringkas:

1. Hadits Ahad Bersifat Zhanni Tsubut Secara Mutlak

Mayoritas ahli ushul fiqih, ahli kalam, juga tiga imam besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Mereka berpandangan bahwa Hadits Ahad itu bersifat zhanni tsubut secara mutlak.

Dasarnya:

Hadits Ahad itu bisa jadi merupakan hadits yang asli, namun juga bukan. Sehingga tidak bisa mengantarkan pada keyakinan. Sedangkan keyakinan itu tidak bisa tegak, selagi masih ada keraguan.

Imam Ghazali memberikan komentar dalam hal ini:

خَبَرُ الْوَاحِدِ لَا يُفِيدُ الْعِلْمَ، وَهُوَ مَعْلُومٌ بِالضَّرُورَةِ فَإِنَّا لَا نُصَدِّقُ بِكُلِّ مَا نَسْمَعُ، وَلَوْ صَدَّقْنَا وَقَدَّرْنَا تَعَارُضَ خَبَرَيْنِ فَكَيْفَ نُصَدِّقُ بِالضِّدَّيْنِ وَمَا حُكِيَ عَنْ الْمُحَدِّثِينَ مِنْ أَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ الْعِلْمَ فَلَعَلَّهُمْ أَرَادُوا أَنَّهُ يُفِيدُ الْعِلْمَ بِوُجُوبِ الْعَمَلِ؛ إذْ يُسَمَّى الظَّنُّ عِلْمًا، وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُهُمْ: يُورِثُ الْعِلْمَ الظَّاهِرَ وَالْعِلْمُ لَيْسَ لَهُ ظَاهِرٌ وَبَاطِنٌ وَإِنَّمَا هُوَ الظَّنُّ

Imam Isnawi juga berkata:

وأما السنة فالآحاد منها لا تفيد إلا الظن

Imam Bazdawi pun berkata:

خبر الواحد لما لم يفد اليقين لا يكون حجة فيما يرجع إلى الاعتقاد؛ لأنه مبني على اليقين وإنما كان حجة فيما قصد فيه العمل

Itulah pendapat mayoritas ulama.

2. Hadits Ahad Itu Bersifat Qath’i Tsubut

Imam Ahmad, Dawud az-Zhahiri, Ibnu Hazm, Harits Muhasibi, Karabisi, dan mayoritas ahli hadits. Termasuk para ulama hadits kontemporer, seperti: Syeikh Ahmad Muhammad Syakir dan Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Mereka berpandangan, bahwa Hadits Ahad itu apabila sudah dinyatakan shahih, maka bersifat qath’i tsubut.

Jadi pendapat kedua ini merupakan kebalikan dari pendapat yang pertama di atas. Pendapat pertama, Hadits Ahad itu mutlak bersifat zhanni tsubut. Pendapat kedua,  Hadits Ahad itu mutlak bersifat qath’i tsubut.

Dasarnya:

Bila sebuah hadits sudah dinyatakan sebagai hadits yang shahih, maka hadits itu sudah selamat dari semua kemungkinan yang meragukan. Sehingga hadits itu memberikan keyakinan. Dengan demikian, hadits itu pun menjadi bersifat qath’i tsubut.

Imam Ibnu Hazm berkata:

إن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا

Syeikh Ahmad Syakir berkata:

والحق الذي ترجحه الأدلة الصحيحة ما ذهب إليه ابن حزم ومن قال بقوله، من أن الحديث الصحيح يفيد العلم القطعي، سواء أكان في أحد الصحيحين أم في غيرهما

وهذا العلم اليقيني علم نظري برهاني، لا يتحصل إلا للعالم المتبحر في الحديث العارف بأحوال الرواة والعلل

3. Hadits Ahad Itu Bersifat Qath’i Tsubut Bila Ada Qarinah

Pendapat ketiga berpandangan, bahwa Hadits Ahad itu apabila disertai qarinah yang kuat, dia bersifat qath’i tsubut. Misalnya adalah hadits-hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Karena kedua kitab hadits ini telah diterima oleh umat Islam secara luas.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Shalah dan sebagian ahli Ushul Fiqih, ahli Ilmu Kalam dan ahli hadits.

Dasarnya:

Hadits Ahad itu pada dasarnya merupakan hadits yang bersifat zhanni tsubut, namun bisa meningkat menjadi qath’i tsubut apabila ada qarinah yang cukup. Qarinah itu adalah apabila Hadits Ahad itu ada dalam Kitab Shahih Bukhari sekaligus Shahih Muslim. Yang biasanya disebut sebagai Muttafaq ‘alaih.

Berdasarkan hal itu, maka semua Hadits Ahad yang ada dalam Shahih Bukhari sekaligus Shahih Muslim bersifat qathi’i tsubut. Adapun Hadits Ahad yang bukan Muttafaq ‘alaih bersifat zhanni tsubut.

Ibnu Shalah berkata:

وهذا القسمُ (صحيحٌ أخرجَهُ البخاريُّ ومسلمٌ جميعاً) جميعُهُ مقطوعٌ بصِحَّتِهِ، والعِلْمُ اليقينيُّ النَّظريُّ واقعٌ بهِ، خلافاً لقولِ مَنْ نَفَى ذلكَ، مُحْتَجّاً بأنَّهُ لا يُفيدُ في أصلِهِ إلاَّ الظَّنَّ، وإنَّما تلقَّتْهُ الأمَّةُ بالقبولِ؛ لأنَّهُ يجبُ عليهمُ العملُ بالظَّنِّ، والظَّنُّ قَدْ يُخْطِئُ

وقدْ كنتُ أميلُ إلى هذا، وأحسبُهُ قويّاً ثُمَّ بانَ لي أنَّ المذهبَ الذي اخْتَرْناهُ أوَّلاً هوَ الصحيحُ؛ لأنَّ ظَنَّ مَنْ هوَ معصومٌ مِنَ الخطأِ لا يُخْطِئُ، والأمَّةُ في إجماعِها مَعْصومةٌ مِنَ الخطأِ، ولهذا كانَ الإجماعُ الْمُبْتَنَى على الاجتهادِ حُجَّةً مقطوعاً بها، وأكثرُ إجماعاتِ العلماءِ كذلكَ

***

E. Kedudukan Hadits Ahad di Bidang Aqidah

Kedudukan Hadits Ahad dalam bidang aqidah termasuk masalah yang sensitif sekaligus krusial. Kita perlu berhati-hati dalam masalah seperti ini. Untuk itu marilah kita urai satu per satu beberapa masalah yang berkaitan dengan tema yang sangat penting ini. Yaitu kedudukan Hadits Ahad dalam aqidah.

Kesepakatan Ulama

Bila kita perhatikan secara seksama, maka kita akan memperoleh beberapa fakta sebagai berikut:

– Seluruh ulama menggunakan Hadits Ahad dalam bidang aqidah yang bersifat furuiyah. Bukan di bidang aqidah yang bersifat ushuliyah, di mana orang yang mengingkari aqidah yang bersifat ushuliyah menjadi kafir.

– Para ulama menggunakan Hadits Ahad dalam bidang aqidah untuk menerangkan detail atas aqidah yang bersifat ushuliyah. Jadi sekedar penjelas.

– Para ulama menggunakan Hadits Ahad selama tidak bertentangan dengan akal sehat ataupun fakta ilmiah.

– Para ulama menggunakan Hadits Ahad selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam agama Islam.

Hadits Ahad Yang Disertai Qarinah

Berkaitan dengan perbedaan pendapat di antara para ulama. Apakah Hadits Ahad itu bersifat qath’i tsubut. Para ulama kontemporer seperti Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi berpandangan, bahwa masalah ini sebenarnya belum dibahas secara tuntas. Sehingga terkesan adanya perbedaan pandangan yang saling berseberangan.

Padahal, apabila kita membahas masalah ini secara jernih, maka akan nampak. Bahwa sebenarnya para ulama itu sepakat, bahwa:

“Hadits Ahad itu apabila tidak disertai qarinah, maka hanya bersifat zhanni tsubut.”

Dengan kata lain:

“Hadits Ahad yang disertai qarinah itu bersifat qath’i tsubut.”

Berikut ini kami bawakan teks pernyataan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi:

والذي أراه بعد البحث والتأمل أن محل النزاع بين الفريقين لم يحرر جيدا، ولو حرر جيدا لوجدنا الطرفين متفقين إلا من كابر وحاد عن الإنصاف، خصوصا بعد أن رجحنا طلب اليقين في أمور العقيدة، وأن حديث الآحاد بغير قرينة لا يفيد اليقين

Masalah Aqidah Asasiyah Harus Berdasarkan al-Qur’an

Hal paling utama yang harus kita tegaskan adalah apa yang dimaksud dengan kata “aqidah” di sini.

Bila yang dimaksud adalah aqidah yang bersifat asasiyah/ushuliyah. Maka para ulama semuanya sepakat. Bahwa masalah aqidah asasiyah ini sudah memperoleh landasan yang sangat kuat dari ayat-ayat al-Qur’an secara lengkap.

Misalnya rukun iman yang pertama. Iman kepada keberadaan Allah Swt. Iman kepada sifat-sifat Allah yang utama. Maka semua itu sudah dibahas secara lengkap melalui ayat-ayat al-Qur’an al-Karim. Di mana seluruh ayat al-Qur’an itu seluruhnya bersifat qathi’i tsubut.

Demikian pula halnya dengan rukun iman yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Semua rukun iman itu sudah tentu berlandaskan pada dalil-dalil ayat al-Qur’an yang bersifat qath’i tsubut.

Masalah Aqidah Furu’iyah Cukup Berdasarkan Hadits Shahih

Bila yang dimaksud aqidah yang bersifat furu’iyah. Maka semua ulama juga sepakat. Bahwa masalah aqidah furu’iyah itu cukup berlandaskan pada Hadits Ahad Yang Shahih.

Misalnya tentang adanya pertanyaan dalam alam kubur, nikmat dan siksa alam kubur, melihat Allah di akhirat, syafaat untuk para ahli maksiat, dan seterusnya. Di mana semua masalah itu tidak pernah diterangkan dalam al-Qur’an, atau ada tapi bersifat samar, lalu diterangkan dalam hadits-hadits yang shahih. Maka tidak ada seorang pun ulama yang menentangnya. Bahwa kita semua wajib percaya dan beriman.

Dengan tiga syarat:

– termasuk hadits yang shahih

– hadits itu bersifat qath’i dalalah

– hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat.

Dalam hal inilah Imamul Haramain al-Juwaini berkata:

كل مَا جوزه الْعقل وَورد بِهِ الشَّرْع وَجب الْقَضَاء بِثُبُوتِهِ

فمما ورد الشَّرْع بِهِ عَذَاب الْقَبْر وسؤال مُنكر وَنَكِير ورد الرّوح إِلَى الْمَيِّت فِي قَبره

وَمِنْهَا الصِّرَاط وَالْمِيزَان والحوض والشفاعة للمذنبين كل ذَلِك حق

Pokok-pokok Agama

Di dalam ajaran Islam terdapat pokok-pokok agama. Apabila seseorang mengingkari salah satu pokok agama Islam, maka dia telah keluar dari agama Islam. Yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam.

Adapun orang yang mengingkari selain pokok-pokok agama, maka mereka tidak dinyatakan telah keluar dari agama Islam. Paling banter mereka dinyatakan sebagai ahli bid’ah. Seperti kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Meskipun mereka menolak hadits-hadits yang shahih. Bahkan mungkin juga sebagian hadits yang mutawatir.

Karena orang yang mengingkari hadits mutawatir itu tidak menjadikan seseorang menjadi murtad atau kafir. Seseorang hanya dinyatakan kafir atau murtad apabila mengingkari pokok-pokok agama. Yang biasanya oleh para ulama disebut dengan istilah:

ما علم من دين الإسلام بالضرورة

Mentakwilkan Hadits Shahih

Kemudian masalah Hadits Ahad yang menerangkan sifat-sifat Allah. Misalnya hadits yang menerangkan, bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir. Allah memiliki jari-jari tangan. Allah memiliki kaki. Dan yang semisalnya.

Para ulama salaf dan khalaf seluruhnya sepakat. Mereka menerima hadits shahih sebagai dalil bagi masalah aqidah furu’iyah. Dengan demikian mereka tidak menolak penggunaan Hadits Ahad dalam masalah aqidah yang bersifat furu’iyah ini.

Meskipun adakalanya para ulama khalaf mentakwilkan kandungan hadits itu. Di mana mereka memiliki pendekatan yang berbeda untuk memahami hadits-hadits itu. Seperti penggunaan majaz, kinayah, isti’arah ataupun tamtsil. Inilah pendekatan ulama khalaf.

Sekali lagi, para ulama sepakat untuk menerima seluruh Hadits Ahad yang bersifat furu’iyah. Termasuk masalah aqidah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah.

Terakhir: Mazhab Hambali

Para pendukung Mazhab Hambali sebenarnya juga ada perbedaan pendapat dalam masalah qath’i dan zhanni-nya Hadits Ahad ini. Para pembesar Mazhab Hambali pun berpendapat, bahwa Hadits Ahad tidak bersifat qath’i tsubut secara mutlak.

Untuk memahami masalah ini secara khusus, kami persilakan Pembaca untuk menelaah penjelasan Imam al-Amidi dalam Kitab al-Ihkam. Khususnya pada Bab Akhbarul-Ahad.

***

F. Kedudukan Hadits Ahad di Bidang Hukum

Para ulama sepakat, bahwa Hadits Ahad merupakan dalil yang wajib untuk digunakan dalam istinbath hukum. Khususnya apabila hadits itu shahih.

Sementara itu terdapat beberapa golongan umat Islam yang menolak Hadits Ahad. Mereka adalah kelompok Khawarij, Rafidhah dan Mu’tazilah. Mereka ini tidak dihukumi kafir ataupun murtad. Tapi para ulama menghukumi mereka sebagai ahli bid’ah.

Hadits Ahad merupakan dalil yang bersifat wajib untuk digunakan dalam beramal (hukum) berdasarkan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan akal. Demikian biasanya diterangkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqih.

Namun dalam hal ini kami lebih setuju pada pernyataan Imam al-Amidi. Bahwa yang paling kuat dalam hal ini adalah dalil ijma’ dan dalil akal. Karena memang dalil-dalil berdasarkan al-Qur’an dan hadits dalam masalah ini mengandung ihtimal. Sehingga bisa dipatahkan oleh orang-orang yang ingin menolaknya.

***

G. Pandangan Muhammadiyah Mengenai Hadits Ahad

Khusus berkenaan dengan Hadits Ahad ini berikut kami sampaikan beberapa pandangan Persyarikatan Muhammadiyah. Terutama Majelis Tarjih yang telah merumuskan Pokok-pokok Manhaj Tarjih.

Secara samar, Hadits Ahad ini disinggung pada Manhaj Tarjih No. 1. Dan secara tegas disebut dua kali, yaitu pada Manhaj Tarjih No. 5 dan No. 11.

1. Manhaj Tarjih Menggunakan Hadits Ahad

Dalam masalah hukum, Manhaj Tarjih tidak mempermasalahkan penggunaan Hadits Ahad. Hal ini bisa kita pahami dalam rumusan Manhaj Tarjih No. 1 sebagai berikut:

“Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah.”

Istilah as-Sunnah ash-Shahihah di sini tentunya adalah Hadits Ahad.

Mengenai Hadits Ahad ini Persyarikatan Muhammadiyah memiliki pandangan yang menarik. Hal ini disebutkan dalam Pokok-pokok Manhaj Tarjih. Secara eksplisit disebutkan sebanyak dua kali. Yaitu pada no. 5 dan no. 11.

**

2. Usulan Perubahan Manhaj Tarjih No. 5

Dalam Manhaj Tarjih No. 5 ini Majelis Tarjih secara implisit (mafhum mukhalafah) menyatakan. Bahwa dalam masalah aqidah Majelis Tarjih tidak menggunakan Hadits Ahad.

Disebutkan secara tegas:

“Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.”

Poin utama:

Terdapat dua poin utama dalam Manhaj Tarjih ini:

– Dalam masalah aqidah, Majelis Tarjih hanya menerima dalil-dalil yang bersifat mutawatir (manthuq).

– Dalam masalah aqidah, Majelis Tarjih menolak dalil-dalil yang bersifat ahad (mafhum).

Catatan:

a. Celaan bagi orang yang mengikuti zhann

Sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, bahwa Allah Swt. memang mencela orang-orang musyrik yang berakidah melalui prasangka (zhann).

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Sebagaimana Allah mencela orang-orang Nashrani mengenai aqidah mereka bahwa Nabi Isa itu disalib.

مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ

Nah, bagaimana mungkin Allah telah mencela orang-orang musyrik dan orang-orang Nashrani. Karena mereka telah mengikuti aqidah berdasarkan zhann. Namun kemudian Allah memperbolehkan orang-orang Islam mengikuti aqidah berdasarkan zhann.

b. Aqidah asasiyah dan aqidah furu’iyah

Bila kita perhatikan dengan lebih teliti dan seksama. Kita akan mendapati bahwasanya ayat-ayat tersebut bisa dimaknai sebagai celaan bagi dasar aqidah yang bersifat pokok. Aqiqah asasiyah.

Adapun masalah aqidah yang bersifat cabang (furu’iyah) boleh menggunakan dalil yang bersifat zhann. Oleh karena itu kita boleh menggunakan Hadits Ahad untuk aqidah furu’iyah. Tidak harus hadits mutawatir.

Usulan Perubahan:

Berdasarkan pembahasan singkat di atas, kami mengusulkan perubahan atas Manhaj Tarjih No. 5 sebagai berikut:

“Dalam masalah aqidah asasiyah, Majelis Tarjih hanya menerima dalil-dalil yang bersifat mutawatir. Adapun dalam masalah aqidah furu’iyah, hadits ahad bisa diterima.

**

3. Usulan Perubahan Manhaj Tarjih No. 11

Dalam Manhaj Tarjih No. 11 ini Majelis Tarjih juga menolak penggunaan Hadits Ahad dalam masalah aqidah. Disebutkan:

“Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhshis dengan hadits ahad, kecuali dalam bidang aqidah.”

Poin utama:

Terdapat dua poin utama dalam Manhaj Tarjih ini:

– Secara umum dalil-dalil dalam al-Qur’an yang bersifat ‘am dapat ditakhshis dengan hadits ahad.

– Namun takhshis tersebut tidak berlaku dalam bidang aqidah.

Catatan:

Sebagaimana kami sampaikan pada catatan No. 5, bahwa masalah aqidah itu ada yang bersifat asasiyah dan ada yang bersifat furu’iyah. Untuk masalah aqidah yang asasiyah memang harus berdasarkan dalil mutawatir. Namun untuk masalah aqidah yang bersifat furu’iyah cukup berdasarkan dalil ahad.

Usulan perubahan:

Oleh karena itu, kami mengusulkan perubahan atas Manhaj Tarjih No. 11 sebagai berikut:

“Secara umum dalil-dalil dalam al-Qur’an dapat ditakhshis dengan hadits ahad. Khusus masalah aqidah yang bersifat asasiyah hanya bisa ditakhshis dengan hadits mutawatir.”

Baca juga:  Rekap Usulan Perubahan Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah

***

Usulan Serius Kagem Persyarikatan Tercinta

Pada kesempatan yang sangat baik ini. Kami sebagai warga persyarikatan, yang juga pernah menjadi anggota Majelis Tarjih di PDM Kabupaten Malang. Menyampaikan beberapa usulan sebagai berikut:

1. Menghindari Masail Khilafiyah

Persyarikatan Muhammadiyah secara umum, dan Majelis Tarjih secara khusus, hendaknya tidak membenamkan diri dalam masail khilafiyah. Sebagaimana Muhammadiyah tidak pernah berurusan dengan politik secara praktis. Maka demikian hendaknya berkaitan dengan masalah-masalah furu’iyah.

Muhammadiyah sebaiknya menjadi rumah besar bagi gerakan Islam secara menyeluruh. Di mana hal ini selaras dengan definisi Muhammadiyah. Sebagaimana disebutkan dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Yaitu:

“Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.”

2. Fokus pada Masail Asasiyah dan Strategis

Apabila Muhammadiyah harus mengambil sikap yang tegas terhadap perbedaan pendapat. Hendaknya hal itu dibatasi pada isu-isu yang bersifat asasiyah, ushuliyah dan strategis. Yang menyangkut keutuhan dan keselamatan persyarikatan. Atau kepentingan persyarikatan secara luas dan mendasar.

Adapun untuk masalah-masalah furu’iyah. Baik di bidang aqidah, ibadah maupun muamalah. Hendaknya diserahkan kepada dinamika pemikiran yang berkembang di tengah warga persyarikatan.

Termasuk menyangkut Manhaj Tarjih ini.

Setuju maupun tidak. Diakui ataupun tidak. Bahkan sadar ataupun tidak. Manhaj Tarjih itu sudah merupakan madzhab.

3. Visi dan Misi Manhaj Tarjih

Bila “terpaksa” harus merumuskan Manhaj Tarjih. Hendaknya kita memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Manhaj Tarjih dirumuskan dalam kerangka meminimalisir perbedaan pendapat. Yang kadang-kadang cenderung memecah belah persatuan dan persaudaraan. Terutama bila tidak disertai ilmu yang cukup dan akhlak yang mulia.

2. Manhaj Tarjih disusun untuk menghemat energi para anggota Majelis Tarjih. Dalam menjawab berbagai pertanyaan dari warga persyarikatan.

3. Manhaj Tarjih tidak membuat para alim ulama di dalam tubuh persyarikatan jadi terbelenggu. Kepada mereka hendaknya tetap diberikan kelonggaran dengan batasan etika dalam hidup berorganisasi.

4. Manhaj Tarjih hendaknya juga mendidik warga persyarikatan untuk bersikap dewasa. Atas perbedaan pendapat yang ada dalam tubuh umat Islam secara umum dan warga persyarikatan secara khusus.

5. Silakan Pembaca tambahkan sendiri inggih…

***

Penutup

Demikian beberapa hal yang bisa kami sampaikan berkaitan dengan Hadits Ahad. Yang kebetulan bersinggungan dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Semoga ada manfaat bagi kita bersama.

Komentar, saran, kritik dan masukan sangat kami harapkan. Untuk perkembangan keilmuan kita semua. Terima kasih.

Allahu a’lam.

____________________

Sumber Bacaan:

-Kitab al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam. Imam al-Amidi.

– Kitab al-Ba’its al-Hatsits. Buah karya: Syeikh Ahmad Muhammad Syakir. Syarah: Kitab Ikhtishar Ulumil Hadits. Karya: Imam Ibnu Katsir.

– Kitab al-Marja’iyah al-‘Ulya fil-Islam, Imam Yusuf al-Qaradhawi.

– Artikel pertama:

Ta’rif Hadits al-Ahad.

– Artikel kedua:

Hujjiyatu Ahaditsil-Ahad fil-‘Aqidah.

– Artikel ketiga:

Hujjiyatu Ahaditsil-Ahad fil-Ahkam al-Fiqhiyah.

الإحكام-في-أصول-الأحكام

Tags:

0 thoughts on “HADITS AHAD: Pengertian, Contoh, Macam dan Kedudukannya

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.