SHOPPING CART

close

SADDU DZARI’AH: Pengertian, Contoh, Macam-macam, Kedudukan

سَدُّ الذَّرِيْعَةِ

Sadd adz-Dza-rii-‘ah

Secara teori, istilah Saddu Dzari’ah mungkin tidak banyak dikenal. Namun secara praktis, Saddu Dzari’ah sangat mudah untuk dipahami dan dilaksanakan.

Inti dari Saddu Dzari’ah adalah upaya pencegahan. Di mana suatu perbuatan yang awalnya halal bisa menjadi haram. Apagila perbuatan yang bersifat halal itu ternyata menjadi perantara bagi terjadinya suatu perbuatan yang haram.

Selanjutnya kita akan membahas Saddu Dzari’ah ini secara lebih rinci sebagai berikut: pengertian, contoh, macam-macam dan kedudukan Saddu Dzari’ah.

Baca Juga: 

Maslahah Mursalah: Pengertian Contoh Macam Syarat Kedudukan

***

A. Pengertian Saddu Dzari’ah

Secara bahasa, Saddu artinya: menutup, mencegah, menghalangi. Dari kata: sadda-yasiddu-saddan.

Dzari’ah artinya: jalan, perantara, wasilah. Dari kata: dzara’a-yadzra’u-dzar’an.

Secara istilah, Saddu Dzari’ah artinya:

سد ما ظاهره مباح ويتوصل به إلى محرم

“Saddu Dzari’ah yaitu: melarang sesuatu yang zahirnya mubah, namun menjadi jalan menuju sesuatu yang haram.”

Atau dengan redaksi yang lain:

سد الأمر الذي ظاهره الإباحة إلاّ أنه يُفضي ويؤول إلى المفسدة وفعل المحرم

“Saddu Dzari’ah adalah: melarang sesuatu yang secara zahir mubah, namun mengantarkan dan mengakibatkan pada mafsadah dan perbuatan haram.”

Itulah definisi Saddu Dzari’ah.

Dengan demikian, Saddu Dzari’ah memiliki dua ciri-ciri sebagai berikut:

  • secara zahir merupakan perbuatan halal/mubah
  • perbuatan halal itu menjadi pintu gerbang kepada perbuatan haram.

Baca Juga: 

Qaul Shahabi: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukan

***

B. Contoh Saddu Dzari’ah

Berikut ini beberapa contoh kasus Saddu Dzari’ah:

1. Menanam anggur

Pada dasarnya, menanam anggur itu hukumnya adalah boleh. Namun apabila kita menanam anggur untuk memasok pabrik minuman keras, maka hukum menanam anggur itu menjadi haram.

2. Bekerja di diskotik dan pelacuran

Bekerja di tempat yang haram. Asalkan kita bisa menjaga diri. Dan pekerjaan kita berkaitan dengan hal-hal yang mubah. Seperti menjadi juru parkir atau tukang kebersihan. Maka hukum asalnya adalah halal.

Namun bila ditelaah lebih lanjut. Bahwa pekerjaan kita itu berarti telah berpartisipasi kepada kemaksiatan. Ditambah kita sendiri lama-lama akan terjatuh pada jurang maksiat. Maka hukum bekerja di tempat-tempat seperti menjadi haram.

3. Chatting dengan lawan jenis

Bertegur sapa melalui media sosial. Seperti whatsapp, facebook, instagram. Pada dasarnya hukumnya adalah halal.

Namun apabila percakapan tersebut dikhawatirkan akan mengantarkan kepada pertemuan. Lalu berduaan. Maka chatting seperti itu pun menjadi haram.

Baca Juga:  

Istishab: Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Kedudukannya

***

C. Macam-macam Kasus Saddu Dzari’ah

Berikut ini macam-macam kasus Saddu Dzari’ah:

1. Kasus yang mafsadahnya dipastikan

Para ulama sepakat. Bahwa suatu perbuatan yang asalnya halal. Namun mengakibatkan perbuatan haram. Maka hukumnya adalah haram.

Misalnya:

a. Hukum menghina sesembahan selain Allah

Sebenarnya hukum menghina sesembahan selain Allah itu boleh-boleh saja. Namun perbuatan itu bisa membuat orang kafir jadi marah. Lalu mereka balik menghina sesembahan orang Islam. Yaitu menghina Allah Swt.

b. Hukum adik-kakak tidur satu ranjang

Hukum asal dua saudara yang berlainan jenis tidur satu ranjang itu sebenarnya boleh saja. Kan hanya tidur. Namun hal itu bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun adik-kakak. Oleh karena itu, keduanya harus dipisah. Diberi ranjang yang terpisah. Syukur diberi kamar sendiri-sendiri. Tujuannya adalah mencegah terjadinya perbuatan yang haram.

2. Kasus yang mafsadahnya dibatalkan

Ada beberapa perkara yang asalnya halal, dan menimbulkan perbuatan haram (mafsadah). Namun terjadinya sangat jarang. Sehingga kemungkinan itu dianggap tidak ada (mulgha).

Misalnya:

a. Hukum menanam anggur

Di antara tujuan orang menanam anggur adalah menyiapkan bahan dasar minuman keras. Namun kebanyakan orang menanam anggur tujuannya untuk dikonsumsi secara halal. Oleh karena itu, menanam anggur hukumnya adalah tetap halal.

b. Membuat rumah yang saling berdekatan

Rumah yang saling berdekatan itu memang bisa menimbulkan terjadinya perzinahan. Namun hal itu amat jarang terjadi. Oleh karena itu, hukum membuat rumah yang saling berdekatan itu tetap mubah. Boleh.

c. Naik ojek online

Orang naik kendaraan dengan berboncengan dan berhimpitan itu memang bisa menimbulkan perbuatan yang tidak diinginkan. Seperti perzinahan. Namun hal itu jarang terjadi. Oleh karena itu, hukum naik ojek online itu hukumnya tetap mubah.

3. Kasus yang mafsadahnya diperdebatkan

Ada kasus-kasus yang diperdebatkan. Apakah mafsadahnya dianggap lebih kuat atau lebih lemah.

Misalnya: menjual dengan hutang sebulan lalu membelinya sebelum setahun.

Tanggal 1 Januari 2022. Ada dua orang melakukan transaksi jual-beli rumah seharga Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Dibayar tahun depan. Yaitu tanggal 1 Januari 2023.

Kita sebut saja nama penjual adalah Pak Ahmad. Dan nama pembeli adalah Pak Banu.

Namun baru setengah tahun, yaitu tanggal 1 Juli 2022. Dengan persetujuan kedua belah pihak. Pak Ahmad membeli rumah yang telah dijualnya dari Pak Banu itu seharga Rp 90.000.000 (sembilan puluh juta). Dibayar tunai.

Lalu tanggal 1 Januari 2023, Pak Banu membayar hutangnya kepada Pak Ahmad. Yaitu sebesar Rp 100.000.000.

Mungkin transaksi itu membuat kita agak bingung. Seperti main-main. Tapi hal itu bisa saja terjadi.

Karena agak rumit, para ulama pun berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Malik berpendapat, transaksi seperti itu hukumnya adalah haram. Karena pada hakekatnya sama saja dengan praktik riba. Di mana Pak Ahmad memberikan pinjaman uang Rp 90.000.000 pada Pak Banu. Lalu Pak Banu mengembalikan uang itu menjadi Rp 100.000.000. Dengan tenggang waktu setengah tahun.

Jadi transaksi itu sebenarnya adalah praktik pinjam-meminjam uang. Bukan jual-beli rumah. Inilah pendapat Imam Malik.

Sementara itu. Imam Syafi’i berpendapat lain. Transaksi itu tetap dihukumi sebagai jual-beli. Sehingga hukumnya adalah mubah. Tidak haram.

4. Kasus yang menimbulkan bid’ah

Adakalanya suatu amal merupakan perbuatan yang sunnah, namun pada akhirnya menuntun pelakunya kepada perbuatan yang bid’ah.

Contohnya:

Ada orang yang punya pilihan. Antara wudhu dengan air dingin atau air hangat. Padahal cuaca sedang sangat dingin. Karena ingin memperoleh pahala yang lebih banyak, maka orang itu memilih air yang dingin.

Pilihan orang itu sebenarnya sudah sesuai dengan sunnah. Yaitu tetap menyempurnakan wudhu di saat yang susah. Namun dia lupa. Bahwa syariat justru menghendaki kemudahan bagi kita. Bukan kesusahan bagi kita.

5. Kasus hilah yang haram

Hilah merupakan cara cerdik sekaligus licik untuk mencurangi syariat.

Misalnya: supaya tidak bayar zakar maal.

Ada orang yang punya emas senilai 85 gram yang merupakan nishab zakat maal. Ketika hampir satu tahun, yang merupakan haul zakat maal, orang itu menjual beberapa gram emasnya. Tujuannya adalah untuk menghindari zakat maal. Lalu setelah lewat beberapa hari, orang itu membeli beberapa gram emas lagi.

Jadi tujuannya adalah untuk menghindari zakat maal atas emas yang dia miliki.

Perbuatan ini sebenarnya boleh atau mubah. Namun menjadi haram, karena merupakan sebuah perbuatan yang licik. Sama saja dengan mencurangi syariat.

Baca Juga: 

‘Urf: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam dan Kedudukan

***

D. Kedudukan Saddu Dzari’ah

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Saddu Dzari’ah. Apakah Saddu Dzari’ah merupakan sebuah dalil atau bukan.

Malikiyah dan Hanabilah menerima Saddu Dzari’ah sebagai salah satu dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di antara argumen pendapat ini, adalah banyaknya isyarat dalam al-Qur’an dan hadits mengenai Saddu Dzari’ah ini. Misalnya:

  • Al-Qur’an melarang kaum muslimin mengejek sesembahan orang kafir. Karena perbuatan itu akan membuat orang kafir balas mengejek sesembahan kaum muslimin. Yaitu Allah Swt.
  • Rasulullah Saw. melarang kaum muslimin berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Karena perbuatan itu akan menjerumuskan kepada perzinahan.

Sementara Hanafiyah dan Syafi’iyah tidak menerima Saddu Dzari’ah sebagai dalil.

Argumen pendapat ini, adalah sifat dari Dzari’ah sebagai sarana atau perantara. Sifat Dzari’ah itu tidak pasti. Bisa halal, haram, wajib, sunnah, maupun makruh.

***

Penutup

Demikian beberapa penjelasan singkat mengenai Saddu Dzari’ah. Semoga ada manfaatnya bagi kita bersama.

Allahu a’lam.

_________________________

Bacaan:

Kitab al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Muhammad Musthafa az-Zuhaili.

Kitab-al-Wajiz-fi-Ushul-Fiqh-Islami

Artikel: Sadd adz-Dzari’ah fi as-Syari’ah al-Islamiyah. Dr. Abdul Hakim ad-Darqawi.

Tags:

2 thoughts on “SADDU DZARI’AH: Pengertian, Contoh, Macam-macam, Kedudukan

  • Abdurrohin bin H. Said

    Mantab ustqdz Ahda… syukron atas ilmunya

    • Ahda Bina

      Inggih sami-sami Ustadz Abdurrohim, matur nuwun sanget atas support Panjenengan. Barakallah fikum…

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.