SHOPPING CART

close

Beberapa Catatan Kecil tentang Nikah Mut’ah

Pendahuluan

Nikah Mut’ah itu hampir sama dengan nikah biasa pada umumnya. Bedanya cuma satu, yaitu ada keterangan tambahan tentang waktu. Bisa satu tahun, satu bulan, bahkan satu jam. Oleh karenanya, nikah mut’ah disebut juga sebagai nikah kontrak.

Sebagaimana yang kita maklumi bersama, rukun nikah itu ada empat: kedua mempelai, wali, saksi dan ijab-qabul.

Adapun mahar memang wajib, tapi tidak harus ada pada waktu akad nikah, karena mahar itu bisa dihutang. Mahar boleh diserahkan pada saat akad nikah, bisa juga diserahkan setelah akad nikah. Mahar bisa disebutkan besarannya, bisa juga tidak perlu disebutkan. Bila tidak disebutkan, nanti bisa disamakan dengan mahar yang sudah diterima oleh saudara atau kerabat dari mempelai perempuan yang bersangkutan.

Nah dalam pernikahan itu tidak perlu disebutkan sampai kapan berlakunya pernikahan tersebut. Tentunya buat selama-lamanya, alias abadi, bahkan sampai di akhirat. Kalau disebutkan batasan waktunya, berarti itu namanya nikah kontrak atau nikah mut’ah. Seperti halnya orang mengontrak rumah, disebutkan sampai kapan. Bisa berapa tahun, berapa bulan, atau berapa jam seperti yang disinggung tadi.

Nikah kontrak atau nikah mut’ah ini memang pernah diperbolehkan pada masa awal Islam. Namun kemudian diharamkan hingga akhir zaman. Keterangan umum dan ringkas tentang nikah mut’ah ini juga bisa kita baca dalam artikel singkat ini.

Berikut ini beberapa catatan kami tentang nikah mut’ah. Semoga ada manfaatnya…

***

Argumentasi Yang Membolehkan Nikah Mut’ah

Allah berfirman:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Ayat di atas dijadikan dalil bagi orang yang berpendapat sahnya nikah mut’ah.[1] Ibn ‘Abbas, Ubay b. Ka’b, Sa’id b. Jubair dan al-Suddi membaca ayat itu dengan:[2]

فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن فريضة.

Kemudian ada pula yang memahami ayat tersebut sebagai dasar bagi sahnya nikah mut’ahdengan pemahaman:[3]

فلا جناح عليكم إذا انقضى الأجل أن تراضوا على زيادة به وزيادة للجعل.

Selain ayat itu, terdapat banyak riwayat yang menyatakan pernah disyariatkannya nikah mut’ah, sebagaimana akan penulis sebutkan di bawah ini.

***

Shi’ah Imamiyah dan Nikah Mut’ah

Shi’ah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ahdengan rukun nikah sebagai berikut:[4]

Shighah, seperti zawwajtuka, ankahtuka, dan matta’tuka.

Istri, dengan syarat wanita muslimah atau kitabiyah, dan disarankan seorang wanita yang baik-baik. Adapun wanita pelacur, ia dimakruhkan.

Mahar, sama dengan mahar pernikahan pada umumnya.

Tenggang waktu, seperti sehari, sebulan, atau setahun, harus diketahui.

 

Beda Pendapat tentang Makna Haramnya Nikah Mut’ah

Para ulama berbeda pendapat apakah nikah mut‘ah itu diharamkan seperti diharamkannya seseorang menikahi ibunya, atau diharamkannya seseorang memakan daging babi.

Para ulama bersepakat tentang haramnya nikah mut‘ah, kecuali Zafar dari Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa nikah mut‘ah itu sah (thabit), hanya saja syaratnya batil.[5] Yang membatalkan nikah mut‘ah adalah dilafadhkannya “waktu tertentu” pada waktu akad Apabila niat memutuskan pernikahan pada waktu tertentu itu tidak dilafadhkan, maka pernikahan itu sah.

Sementara itu al-Auza‘i berpendapat, pernikahanyang dilakukian dengan niat untuk mengakhirinya pada waktu tertentu itu tetap tidak sah, karena sama dengan nikah mut‘ah.[6]

***

Ibn ‘Abbas dan Nikah Mut’ah

Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa nikah mut‘ah itu sah. Pendapat ini diamini oleh sebagian besar muridnya (seperti ‘Ata’ dan Tawus), Ibn Juraij, Abu Sa‘id al-Khudri, Jabir, dan Shi‘ah.[7]

Diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas menarik pendapatnya itu, tetapi Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan bahwa semua riwayat yang mengatakan hal itu adalah dha’if, atau lemah.[8]

Namun agaknya Ibn ‘Abbas hanya memperbolehkan nikah mut’ahitu dengan syarat  Terbukti ketika diberitahu dampak dari fatwanya itu, ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. Demi Allah aku tidak berfatwa seperti itu. Dan bukan seperti itu maksudku. Tidaklah aku menghalalkan nikah mut’ah, kecuali seperti Allah menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi. Nikah mut’ah itu tidak halal, kecuali untuk orang yang sedang dalam keadaan terpaksa. Nikah mut’ah itu sama halnya dengan bangkai, darah, dan daging babi.[9]

Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya Ibn ‘Abbas tidak pernah menghalalkan nikah mut’ahdi semua waktu, sama halnya dengan ia tidak pernah menghalalkan bangkai, darah dan daging babi. Orang yang mengatakan bahwa Ibn ‘Abbas menghalalkan nikah mut’ah, sama dengan dia mengatakan Ibn ‘Abbas menghalalkan bangkai, darah dan daging babi. Maksudnya, nikah mut’ah itu menjadi halal seperti halalnya bangkai, darah dan daging babi dalam saat-saat tertentu saja. Bila saat-saat tertentu itu telah berlalu, maka nikah mut’ah, bangkai, darah dan daging babi kembali ke hukum asalnya, yaitu haram.

***

Dasar Hukum Haramnya Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah itu hukumnya adalah haram, dengan rincian argumen sebagai berikut:

  • Hadits-hadits di atas menyebutkan tentang diperbolehkannya nikah mut’ah dalam kondisi mendesak. Tetapi rukhshah itu kemudian dicabut oleh Rasulullah Saw.
  • Bahwa Umar telah melarang nikah mut’ah ini ketika ia di atas mimbar pada waktu ia menjadi khalifah, dan para shahabat menyetujuinya.[10]
  • Ijma’ para ulama, kecuali sebagian dari Shi’ah, bahwa nikah mut’ah hukumnya adalah haram.[11]
  • Tujuan nikah mut’ah hanyalah semata memenuhi hasrat birahi. Ia tidak dimaksudkan untuk memperoleh keturunan ataupun memelihara keturunan, sebagaimana tujuan utama pernikahan. Dengan demikian nikah mut’ah ini tidak berbeda dengan perzinahan.[12]
  • Nikah mut’ah itu sebenarnya merendahkan martabat wanita, karena ia diperlakukan sebagai barang dagangan; berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. [13]
  • Nikah mut’ah merugikan kepentingan anak-anak. Anak-anak yang lahir dari pernikahan ini tidak mendapatkan hak perlindungan ataupun pendidikan dar kedua orang tuanya. [14]

Adapun pendapat Ibn ‘Abbas yang memperbolehkan nikah mut’ah, ketika diberitahu dampak dari fatwanya itu, ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi raji’un. Demi Allah aku tidak berfatwa seperti itu. Dan bukan seperti itu maksudku. Tidaklah aku menghalalkan nikah mut’ah itu, kecuali seperti Allah menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi. Nikah mut’ah itu tidak halal, kecuali untuk orang yang sedang dalam keadaan terpaksa. Nikah mut’ah itu sama halnya dengan bangkai, darah, dan daging babi.[15]

***

Hukum yang berkaitan dengan nikah mut’ah

Ketika seorang laki-laki dan perempuan telah malakukan nikah mut’ah, berikut hukum yang berkaitan dengannya:

  • Tidak boleh mengganti kata mahar dengan kata upah. Yang demikian membatalkan akad.[16]
  • Setengah mahar dalam nikah mut’ah gugur, bila masa nikahnya selesai sebelum hubungan badan terjadi.[17]
  • Suami tidak wajib memberi nafkah kepada istri, kecuali istrinya mensyaratkan dalam akad nikah.[18] Bila tidak disebutkan dalam akad nikah,  maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
  • Anak yang terlahir adalah sah dan mengikuti nasab orang tuanya itu. [19]
  • Pada nikah mut’ah tidak dikenal istilah talak dan li’an. [20]
  • Tidak ada hak saling mewarisi antara suami-istri. [21]
  • Adapun anak tetap saling mewarisi dengan kedua orang tuanya itu. [22]
  • Iddah mulai dihitung sejak berakhirnya pernikahan dengan dua kali haid. Bila wanita itu tidak lagi haid, maka ditetapkan dengan empat puluh lima hari. [23]
  • Iddah wafat dalam nikah mut’ah adalah empat bulan sepuluh hari, baik telah terjadi hubungan badan ataupun tidak.[24]

***

Rasulullah tidak pernah melakukan nikah mut’ah

  • Meskipun Rasulullah pernah memberikan izin kepada para shahabat untuk melakukan nikah mut’ah pada saat-saat tertentu, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau pernah melakukannya. Boleh jadi hal ini karena beliau selalu menyertakan salah seorang istrinya untuk turut bepergian dalam setiap bepergian jauh.
  • Selain Rasulullah, para shahabat “besar” pun tidak ada satu orang pun yang diriwayatkan pernah melakukan nikah mut’ah. Seperti Abu Bakr, ‘Umar b. Al-Khattab, ‘Uthman b. ‘Affan, ‘Ali Abi Thalib, Zaid b. Thabit, dan lain-lain. Termasuk Ibn ‘Abbas yang diriwayatkan memperbolehkan nikah mut’ah ini, tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan ia pernah melakukannya.
  • Dari deretan fakta di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa meskipun nikah mut’ah ini pada mulanya diperbolehkan, ia merupakan sesuatu yang tidak terhormat. Ia bukan suatu perbuatan yang dianjurkan. Orang yang melakukannya tidak tambah terhormat karena telah melakukannya. Sebagaimana orang yang memakan bangkai, daging babi, dan darah, juga tidak akan semakin terhormat dengan melakukan perbuatan itu. Sebaliknya, orang yang bisa menahan diri dari nikah mut’ah merupakan salah satu tanda kehormatan dirinya. Sebagaimana ia bisa menahan diri dari memakan bangkai, daging babi, dan darah di kala sedang kelaparan.

***

Hadits dan Terjemah

Mengingat masalah nikah mut’ah ini merupakan masalah yang selalu hangat sekaligus amat sensitif, berikut ini kami sampaikan seluruh hadits yang menjelaskan tentang nikah mut’ah.

  • Hadits Ibnu Mas’ud

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: أَلَا نَخْتَصِي؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا بَعْدُ أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إلَى أَجَلٍ، ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللَّهِ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ ) الْآيَةَ﴾. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari (‘Abdullah) Ibn Mas’ud, dia berkata, “Adalah kami berperangbersama Rasulullah r, sementara di antara kami tidak ada perempuan. Kami bertanya, “Tidakkah kami boleh melakukan kebiri?” Beliau melarang kami melakukan itu. Kemudian beliau memberikan kepada kami kelonggaran untuk menikahi wanita untuk sementara selama waktu tertentu (yaitu nikah mut‘ah).” Kemudian ‘Abdullah (bin Mas‘ud) membaca ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.”[25] (Muttafaq ‘alaih)[26]

  • Hadits Ibnu ‘Abbas

وَعَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ، فَرَخَّصَ، فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ: إنَّمَا ذَلِكَ فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ، وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ، أَوْ نَحْوَهُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَعَمْ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Abu Jamrah, dia berkata, “Aku bertanya kepada (‘Abdullah) Ibn ‘Abbas tentang hukum nikah mut‘ah. Maka dia memberikan hukum rukhsah (keringanan). Lalu seorang maulanya berkata, “Hal itu hanya diperbolehkan pada waktu mendesak, sementara jumlah wanitaamat sedikit.” Ibn ‘Abbas berkata, “Ya.” ( Bukhari)[27]

  • Hadits Ibnu ‘Abbas Yang Kedua 

وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : إنَّمَا كَانَتْ الْمُتْعَةُ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ، كَانَ الرَّجُلُ يَقْدَمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ، فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيمُ، فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ شَأْنَهُ، حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: ﴿إلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ﴾. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَاهُمَا حَرَامٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.

Dari Muhammad bin Ka‘b, dari Ibn ’Abbas, dia berkata, “Nikah mut‘ah itu hanya diperbolehkan pada masa permulaan Islam, dimana seorang laki-laki tiba di suatu negeri yang tidak dikenalnya. Laki-laki itu menikahi seorang wanitasesuai dengan waktu dia tinggal disana. Wanita itu akan menjaga hartanya, dan memenuhi berbagai kebutuhannya. Kemudian turunlah ayat, “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.”[28] Ibn ‘Abbas berkata lagi, “Dengan demikian, semua farji (kemaluan) selain dua itu, hukumnya adalah haram.” ( Tirmidzi)[29]

  • Hadits ‘Ali

وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ٬ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ. وَفِي رِوَايَةٍ: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا.

Dari ’Ali, bahwa Rasulullah Saw. melarang pernikahan mut‘ah, dan melarang daging himar piaraan pada masa Perang Khaibar. Pada riwayat yang lain, beliau melarang pernikahan mut‘ah pada masa Perang Khaibar, demikian pula daging himar piaraan. (Muttafaq ‘alaih)[30]

  • Hadits Salamah bin al-Akwa’

وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ عَامَ أَوْطَاسٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ نَهَى عَنْهَا.

Dan dari Salamah bin al-Akwa‘, dia berkata, “Rasulullah memberikan keringanan hukum kepada kami untuk melakukan nikah mut‘ah pada masa Perang Authas selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.” (HR. Ahmad dan Muslim)[31]

  • Hadits Sabrah al-Juhani

وَعَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ : أَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ : فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ، إلَى أَنْ قَالَ : فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا.  رَوَاهُنَّ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ.

وَفِي لَفْظٍ عَنْ سَبْرَةَ قَالَ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.  رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

وَفِي رِوَايَةٍ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ.  رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد.

Dari Sabrah al-Juhani, bahwa dia berangkat berperangbersama Nabi Saw. pada Fath Mekah (penaklukan Mekah). Dia berkata, “Kami tinggal di Mekah selama lima belas hari. Rasulullah  memberikan izin kepada kami untuk melakukan nikah mut‘ah.” Kemudian dia berkata, “Namun tidaklah aku keluar (dari Mekah), melainkan Rasulullah Saw. telah mengharamkannya.” (HR. Ahmad dan Muslim)[32]

Pada riwayat yang lain, bahwa Sabrah al-Juhaniberangkat perang bersama Nabi Saw. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sebelumnya aku memberikan izin kepada kalian untuk melakukan nikah mut‘ah. Namun sesungguhnya (sekarang) Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki seorang istri dengan pernikahan ini, hendaknya dia melepaskan pernikahan dengan wanita  Dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada wanita itu.” (HR. Ahmad dan Muslim)[33]

Pada redaksi yang lain, dari Sabrah, dia berkata, “Rasulullah memberikan perintah kepada kami untuk melakukan nikah mut‘ah pada masa Fath Mekah, ketika kami baru saja masuk Mekah. Kemudian tidaklah kami keluar dari Mekah, melainkan beliau telah melarang kami melakukannya.” (HR. Muslim)[34]

Pada riwayat lain, darinya juga, bahwa Rasulullah melarang pernikahan mut‘ah pada Haji Wada‘. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[35]

 

Mufradat

Di samping terjemah, untuk lebih memahami makna hadits di atas, kami sampaikan makna beberapa mufradat penting sebagai berikut:

Kami berperang : نَغْزُو
Kami berkebiri : نَخْتَصِي
Kami menikahi seorang wanita hingga waktu tertentu : أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إلَى أَجَلٍ
Keledai jinak : الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
Perang Khaibar : يَوْمَ خَيْبَرَ
Kami tinggal bersamanya : فَأَقَمْنَا بِهَا
Bersenang-senang : الِاسْتِمْتَاعِ
Hendaknya ia meninggalkannya : فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ
Tahun ditaklukkannya Kota Mekah : عَامَ الْفَتْحِ

___________________________

Sumber Bacaan:

[1] Abu al-Fida’ Isma’il b. ‘Umar b. Ibn Kathir al-Quraishi al-Dimashqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (tt., Dar al-Tayyibah li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1999), vol. ii hal. 259.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 37.

[5] ‘Umar Sulaiman al-Ashqar, Ahkam al-Zawaj fi Dau’ al-Qur’an wal al-Sunnah (Oman: Dar al-Nafa’is, 1997), 101.

[6] ‘Umar Sulaiman al-Ashqar, Ahkam al-Zawaj fi Dau’ al-Qur’an wal al-Sunnah, 102.

[7] ‘Umar Sulaiman al-Ashqar, Ahkam al-Zawaj fi Dau’ al-Qur’an wal al-Sunnah.

[8] ‘Umar Sulaiman al-Ashqar, Ahkam al-Zawaj fi Dau’ al-Qur’an wal al-Sunnah.

[9] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 36-37.

[10] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 36.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 36-37.

[16] Ibid., 37.

[17] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan, 465.

[18] Ibid., 466.

[19] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 37.

[20] Ibid., 37.

[21] Ibid.. Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan, 466.

[22] Ibid..

[23] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 37. Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan, 465.

[24] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan, 466.

[25] QS. Al-Mâidah [5]: 87.

[26] Al-Bukhâri no. 4787, Muslim no. 1404/11, Ahmad no. 3986 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[27] Al-Bukhâri no. 4826 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[28] QS. Al-Mu’minûn [23]: 6 dan al-Ma’ârij [70]: 30.

[29] At-Tirmidzi no. 1122 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[30] Al-Bukhâri no. 4825, Muslim no. 1407/30, Ahmad no. 592 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[31] Ahmad no. 16600, dan Muslim no. 1405/18 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[32] Ahmad no. 15382, dan Muslim no. 1406/20 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[33] Ahmad no. 15387, dan Muslim no. 1406/21.

[34] Muslim no. 1406/22.

[35] Ahmad no. 15374, Abu Dawud no. 2072.

[36] Muhammad b. ‘Abd Allah al-Khatib al-Tibrizi, Mishkah al-Masabih (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), vol. iii hal. 216 h\adits no. 3157. Tahqiq: Muhammad Nasir al-Din al-Albani.

[37] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 546-547.

[38] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Ghayah al-Maram fi Takhrij Ahadits al-Halal wa al-Haram (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1405 H), vol. 1 hal. 289, hadits no. 225.

[39] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Irwa’ al-Ghalil fi. Takhrij Ahadits Manar al-Sabil (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), vol. vi hal. 316.

[40] Ibn Hajar, Fath al-Bari, vol. xiv hal. 368 (al-Maktabah al-Shamilah v. 2).

[41] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Shahih wa Da’if Sunan al-Nasa’i vol. ix hal. 406 (al-Maktabah al-Shamilah v. 2).

[42] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Shahih wa Da’if Sunan al-Nasa’i vol. ix hal. 407 (al-Maktabah al-Shamilah v. 2).

[43] Muhammad b. ‘Abd Allah al-Khatib al-Tibrizi, Mishkah al-Masabih (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), vol. ii hal. 213 h\adits no. 3148. Tahqiq: Muhammad Nasir al-Din al-Albani.

[44] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Shahih wa Da’if Sunan al-Tirmidhi, vol. i hal. 110 (al-Maktabah al-Shamilah v. 2).

[45] Irwa’ al-Ghalil, val. 6 hal. 315.

[46] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tt.), vol. i hal. 729.

[47] Irwa’ al-Ghalil, vol. 1 hal. 376, hadits no. 1902.

[48] Irwa’ al-Ghalil, vol. 1 hal. 376, hadits no. 1901.

[49] QS. Al-Mâidah [5]: 87.

[50] Al-Bukhâri no. 4787, Muslim no. 1404/11, Ahmad no. 3986 (al-Maktabah al-Shamilah v. ii).

[51] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar (Beirut: Dar al-Khair, 1998), vol. iv hal. 547.

[52] Abu al-‘Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman b. ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadhi bi Sharh Jami’ al-Tirmidhi (1353 H.) (Beirut: Dar al_kutub al-‘Ilmiyah, 1996), vol. iv hal. 226.

[53] Abu Muhammad ‘Ali b. Ahmad b. Sa’id b. Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Athar (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 226.

[54] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 549.

[55] Abu al-‘Ula Muhammad ‘Abd al-Rahman b. ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadhi bi Sharh Jami’ al-Tirmidhi, vol. iv hal. 226.

[56] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 547.

[57] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 551.

[58] Ibid.

[59] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 549.

[60] Ibid., 549.

[61] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 550.

[62] Al-Bukhari no. 2496.

[63] Ibid., no. 2497.

[64] Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad al-Shaukani (1255 H), Nail al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar, vol. vi hal. 550.

[65] Ibn Majah, no. 1953. al-Albani memberikan komentar, “Hasan.”

Tags:

One thought on “Beberapa Catatan Kecil tentang Nikah Mut’ah

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.