SHOPPING CART

close

Inilah Tips Untuk Menjadi Mubaligh Yang Sukses

Untuk menjadi mubaligh, kita tidak harus hafal al-Qur’an sebanyak 30 juz. Kita juga tidak harus mahir membaca kitab kuning. Bukankah Nabi Muhammad Saw. telah berpesan, hendaknya kita menyampaikan pesan agama, meskipun hanya berupa satu ayat. Lalu siapakah di antara kita yang tidak hafal saya ayat saja? Oleh karena itu, sesungguhnya kita semua memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mubaligh yang baik.

Namun demikian, hendaknya kita juga tidak memandang ringan tugas sebagai mubaligh ini. Meskipun tidak begitu susah, tapi juga tidak berarti amat mudah. Seperti kita belajar menyetir sepeda angin, sepeda motor, atau mobil itu memang tidak susah, tapi juga tidak bisa asal-asalan. Artinya, siapapun yang bersungguh-sungguh dan tekun berlatih, insya Allah akan menguasai keterampilan tersebut dalam waktu yang relatif singkat.

Berikut ini kami sampaikan beberapa langkah untuk menjadi mubaligh yang baik. Hal ini kami sampaikan bukan karena penulis telah merasa menjadi mubaligh yang sukses. Namun semata-mata sebagai bentuk niat untuk berbagai pengalaman dan pengetahuan. Semoga Allah memberikan berkah kepada setiap usaha baik kita.

Baca Juga:

Tabligh: Pengertian dan Kemuliaannya dalam al-Qur’an-Hadits

***

1. Niat Yang Tulus

Setiap perbuatan akan memperoleh hasil sesuai dengan niat dari pelakunya. Seperti orang-orang yang sedang melintas di jalan raya, meskipun nampak sedang melintas di jalan yang sama, sebenarnya mereka memiliki tujuan yang bermacam-macam. Pada akhirnya mereka pun akan sampai pada tujuan yang berbeda-beda.

Tujuan kita menjadi mubaligh yang handal, hendaknya sudah kita tetapkan sejak awal, yaitu: membela agama Islam, menyampaikan dakwah Islam, atau menjelaskan kebenaran kepada masyarakat. Karena sebenarnya, menjadi mubaligh yang hebat itu bukan sebagai tujuan utama. Tujuan utama kita adalah ridha Allah. Adapun menjadi mubaligh yang profesional merupakan sarana saja.

Hendaknya kita selalu mengingat-ingat pesan Nabi Muhammad Saw. berkaitan dengan niat ini. Sebuah pesan yang sudah sering kita dengar atau baca, namun juga sering kita lupakan. Oleh karena itu, marilah kita simak kembali sabda beliau itu. Beliau bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  akan memperoleh balasan berdasarkan apa yang dia niatkan. Oleh karena itu, barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan ridha) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada (ridha) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin dicapainya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga:

Teladan Sifat Tabligh dalam Perilaku Para Nabi

***

2. Mampu dan Rajin Membaca al-Qur’an dengan Baik dan Benar

Secara umum, seorang muslim yang baik semestinya mahir membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan baik dan benar. Demikian pula seharusnya bagi seorang mubaligh. Dalam al-Qur’an pun Nabi Muhammad Saw. sebagai pengemban utama tugas dakwah diberikan perintah untuk memperbanyak membaca ayat-ayat al-Qur’an, terutama dalam shalat malam (tahajud).

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا.

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan. (al-Muzammil: 1-4)

Kedekatan mubaligh dengan al-Qur’an akan menentukan kesuksesan dirinya dalam mengemban tugas. Hal ini dikarenakan al-Qur’an merupakan jalan yang paling dekat untuk memberikan keyakinan sekaligus pemahaman yang benar akan ajaran-ajaran Islam kepada masyarkat, baik masyarakat awam maupun masyarakat terpelajar.

Baca Juga:

Kesuksesan Nabi Muhammad dalam Menanamkan Sifat Tabligh

***

3. Memiliki Hafalan Ayat dan Hadits Pilihan

Secara umum, kita lebih mantap mendengarkan penjelasan mubaligh yang lahir dari ingatan mubaligh tersebut, daripada catatan yang dibawanya. Terutama dalam hal ini adalah kutipan yang berupa ayat maupun hadits. Namun bukan berarti kita harus memaksakan diri, sehingga meskipun belum hafal ayat dan hadits, secara sengaja kita tidak membawa catatan. Dengan keyakinan, bahwa jamaah juga tidak hafal ayat dan hadits tersebut. Tentu tidak demikian.

Memang yang lebih sempurna, kita sudah hafal ayat dan hadits yang disampaikannya. Namun daripada salah menyampaikan kutipan ayat dan hadits, lebih baik kita membawa catatan.

Hafalan ayat dan surat pilihan juga amat penting untuk dimiliki setiap mubaligh. Kecakapan mubaligh bukan dinilai oleh masyarakat dari ceramahnya, namun juga dari kemampuannya dalam memimpin shalat berjamaah. Bukan berarti kita hendak berbuat riya’, namun ini merupakan salah satu cara untuk memantapkan hati jamaah dalam menerima pesan-pesan agama.

Pada kenyataannya, pemahaman kita kepada sebuah ayat dan hadits akan semakin sempurna setelah kita menghafalnya dengan baik. Dengan demikian, menghafal itu merupakan salah satu cara untuk memahami dengan lebih sempurna.

Baca Juga:

Contoh Sifat Tabligh dalam Kehidupan Sehari-hari

***

4. Menyelesaikan Bacaan Satu Buku Sirah Nabawiyah

Seorang mubaligh yang baik, hendaknya berusaha membaca sebuah buku yang mengisahkan sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. secara lengkap. Pemahaman akan sirah nabawiyah ini akan membantu kita untuk memahami banyak hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keislaman secara umum, maupun kehidupan pribadi Nabi Muhammad Saw.. Dengan pemahaman yang baik itu, kita pun semakin mudah meneladani kehidupan nabi dengan wawasan yang luas.

Banyak di antara mubaligh yang berwawasan sempit, sehingga sepak terjangnya justru merugikan perjuangan dakwah Islam. Tujuannya menyatukan umat Islam, namun prakteknya justru merusak ukhuwah islamiyah. Niatnya ingin menguatkan posisi umat, tapi prakteknya justru menghancurkan nama baik Islam. Semua tindakan ini lahir tidak lain karena wawasan yang teramat sempit dan pemahaman yang dangkal.

Pemahaman yang menyeluruh tentang dakwah Islam ini akan kita dapatkan apabila kita menelaah sirah nabawiyah dengan baik. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama tentang sirah nabawiyah ini, dan bisa kita dapatkan dengan relatif mudah, baik yang tipis maupun yang tebal. Baik yang berbahasa Arab, terjemahan, maupun yang disusun oleh orang Indonesia asli.

Baca Juga:

Cara Menumbuhkan dan Merawat Sifat Fathanah

***

5. Menggunakan Bahasa Yang Sederhana

Untuk memahami istilah-istilah tertentu dalam artikel ilmiah, kadangkala kita harus membuka kamus. Atau supaya artikel kita diterima suatu harian atau jurnal ilmiah, kita pun berusaha menyisipkan beberapa istilah yang amat spesifik. Namun untuk menjadi mubaligh yang baik, justru kita harus berusaha menghindari istilah-istilah yang sekiranya tidak dipahami oleh masyarakat awam. Kalaupun menggunakan istilah-istilah khusus, hendaknya kita menggunakannya dengan konteks yang tepat, sehingga mudah dipahami.

Suatu saat, saya ditanya oleh seorang dosen senior, “Apa perbedaan antara seorang profesor dengan seorang kiai?” Karena saya tidak bisa menjawab, beliau pun menjawabnya sendiri, “Profesor itu mampu membuat masalah yang sebenarnya sederhana, menjadi rumit. Sebaliknya, kiai itu mampu membuat masalah yang sebenarnya rumit, menjadi sederhana.”

Pada kesempatan yang lain, Bapak KH. Muhammad Muqoddas yang dosen senior dan sesepuh Muhammadiyah ini berkata, “Tanda bahwa seseorang memahami apa yang disampaikannya dengan baik, apabila dia mampu menjelaskannya dengan sederhana. Apabila dia menjelaskannya dengan cara yang rumit dan berbelit-belit, berarti sebenarnya dia sendiri belum paham dengan baik.”

Seorang shahabat yang mulia bernama ‘Abdullah bin Mas’ud, atau juga dikenal dengan Ibnu Mas’ud, berpesan:

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.

Tidaklah engkau menyampaikan suatu pesan kepada suatu kaum yang tidak mereka pahami, melainkan hal itu akan membuat bingung sebagian dari mereka. (Riwayat Muslim)

Baca Juga:

Contoh Sifat Fathanah dalam Kehidupan Sehari-hari

***

6. Mengamalkan Sebelum Mendakwahkan

Sebelum menyampaikan suatu materi, idealnya kita sudah mengamalkan materi tersebut dengan baik. Dakwah itu ibarat sedekah. Kita tidak mungkin memberikan sesuatu kepada orang lain secara sempurna, apabila kita tidak memiliki sesuatu tersebut secara sah. Kita tidak mungkin memberikan sedekah sebesar sepuluh ribu rupiah misalnya, apabila kita tidak memiliki sejumlah uang tersebut.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang mubaligh merupakan orang yang paling bersemangat mengamalkan materi ceramahnya sendiri. Allah Swt. memberikan peringatan kepada para mubaligh secara khusus, agar mereka mengamalkan materi ceramahnya sendiri dengan baik. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (ash-Shaff: 2-3)

Menyampaikan pesan-pesan yang bertentangan dengan perilaku kita sendiri, bukan hanya bertentangan dengan ayat di atas, namun juga akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat. Bagaimana mungkin kita menyuruh orang lain bersedekah misalnya, sementara kita sendiri dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang amat bakhil.

Namun demikian, bukan berarti kita harus melaksanakan seluruh ajaran Islam dengan sempurna, setelah itu baru kita mengajarkannya kepada orang lain. Bila harus demikian, tentu tidak akan ada orang yang berani ceramah ataupun berkhutbah. Setidaknya kita tidak sampai mengabaikan pesan-pesan yang kita sendiri memberikannya kepada orang lain.

_____________

Sumber dan Bacaan: 

– Buku Dahsyatnya 4 Sifat NabiAhda Bina A. Lc. 

– Buku ar-Rusul war-Risalat‘, Syeikh Umar Sulaiman al-Asyqat.

– Artikel Shifat al-Anbiya’ war RusulSyeikh Batul ad-Daghim. mawdoo3.com

Tags:

One thought on “Inilah Tips Untuk Menjadi Mubaligh Yang Sukses

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.