SHOPPING CART

close

Lillahi Maa Fis Samaawaati wa Maa fil-Ardh

Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…

Anakku bukanlah milikku.

Istriku bukanlah milikku.

Diriku bukanlah milikku…

Dia yang punya, maka terserah Dia mau diapakan.

Dia yang punya, maka Dia yang paling menyayangi milik-Nya…

Dan dia yang punya, maka Dia yang paling tahu bagaimana baiknya…

Ya Allah…

Saya mengaku bodoh.

Saya mengaku papa…

Sampun monggo kerso…

Akhirnya saya pun menyerah…

Segala kebaikan ada di tangan-Mu.

Pada kehendak-Mu…

Bukan pada rencanaku.

Bukan pada targetku.

Juga bukan pada jadualku.

Bukan pada keinginanku…

Apa yang telah terjadi itulah yang terbaik.

Untukku, juga untuk semuanya…

Sesuai dengan perhitungan-Mu.

Yang selalu tepat waktu dan kadarnya…

Semua pasti baik.

Semua pasti baik…

Baca pula:  Tadabbur Makna Takwa dalam Al-Baqarah dan Ali ‘Imran

***

Hak Milik hanya pada Allah

Jangankan rumah ataupun harta benda yang lain. Tubuh kita ini, seluruhnya adalah milik Allah. Juga nyawa kita.

Apa yang kita punya sebenarnya tidak ada. Lalu apa gunanya sertifikat.

Tidak lain adalah untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik.

Jadi sertifikat itu sebenarnya bukan hak milik. Namun hak mempergunakan untuk kepentingan pengabdian pada-Nya.

Semua yang dilakukan untuk kepentingan selain pengabdian pada-Nya, sesungguhnyalah! Adalah pengkhianatan dalam arti yang sebenarnya. Bukan kiasan.

Mengapa seperti itu?

Karena tidaklah kita diciptakan melainkan untuk beribadah pada-Nya.

Maka justru istilah “hak milik tanah” itu sebenarnya adalah bahasa kiasan. Demikian pula hak milik kendaraan dan yang lainnya.

Karena hak milik yang sejati hanya ada pada Allah Swt.

***

Yang Terbaik adalah Yang Dia Pilihkan

Allah Maha Kasih dan Maha Sayang. Kepada semua makhluk-Nya. Apalagi kepada makhluk yang paling akhir. Yaitu manusia.

Kita semua diciptakan dalam bentuk fisik yang paling indah. Juga hasrat ruhani yang paling mulia.

Bila ada yang buruk, maka yang buruk ini ada pada kesalahan penilaian kita. Tentang apa yang baik dan buruk. Kesalahan ada pada kemampuan kita untuk menilai.

Hidung yang pesek itu nampak buruk, karena standar keindahan dalam otak kita adalah: hidung yang indah itu harus mancung.

Padahal boleh jadi hidung yang mancung itu justru mencelakakan.

Maka standar baik dan buruk itu bukan pada hawa nafsu. Kemauan kita.

Standar baik dan buruk itu ada pada akibatnya.

***

Syukur Itu Harus Diusahakan

Di sinilah kita memahami. Bahwa syukur itu harus diperjuangkan.

Memang ada kalanya rasa syukur itu datang dengan sendirinya. Khususnya bila kita berhasil memperoleh apa yang kita inginkan. Apa yang sangat kita impikan.

Namun setelah itu, rasa syukur secara perlahan akan pergi.

Nikmat yang paling besar tentunya adalah nikmat yang selalu bersama kita. Yaitu kemampuan kita untuk menikmati oksigen misalnya. Atau cahaya matahari. Air yang bersih dan segar.

Namun karena semua itu bisa kita nikmati dengan mudahnya. Setiap hati. Setiap saat. Di situlah kita terlena. Lupa dengan kemurahan-Nya. Padahal inilah yang paling kita butuhkan untuk keperluan hidup.

Allahu a’lam.

Tags:

0 thoughts on “Lillahi Maa Fis Samaawaati wa Maa fil-Ardh

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.